Selasa, 28 April 2009

cerpen membunuh perempuan pemetik harpa

Membunuh Perempuan Pemetik Harpa

Cerpen Rama Dira J Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 171 kali

Aku mulai mendengar alunan denting harpa yang dimaksudkan oleh orang yang akan membayarku. "Kau akan mudah menemukannya. Ia selalu memainkan harpa di pagi buta" katanya.

"Sebelum matahari terbit, bergegaslah ke vila asal denting harpa itu. Saat itu para pelayan belum datang dari rumah mereka di sekitar kaki bukit. Kau akan leluasa membunuhnya."

Demikianlah pesan singkat yang diberikan oleh lelaki bercucu itu. Ia memintaku untuk membunuh gendaknya setelah berkeras hati minta dinikahi. Sesungguhnya, ia tidak pernah benar- benar serius dengan gadis itu. Ia sadar, perselingkuhannya itu bisa menjadi sumber kehancuran. Para musuh politiknya bisa menamatkan kariernya.

Bahkan, teman-temannya separtai pun (mereka yang iri dengan kedudukannya saat ini) akan bisa bermanuver menurunkannya sebagai Ketua Komisi di Senat, jika sampai mengetahui perselingkuhan itu. Buruknya lagi, ia tidak akan terpilih kembali menjadi anggota dewan pada pemilu yang sebentar lagi digelar. Kini, ia yakin, hanya dengan jalan membunuh gendaknya itulah karier politik yang sudah dibangunnya dengan susah payah sejak muda, bisa ia selamatkan.

Setelah motor ojek itu berderum meninggalkanku, aku langsung bergegas menuju ke kaki bukit, mengarah ke asal denting harpa yang terus mengalir. Aku mempercepat langkah, terus berjalan dengan tas ransel di pundak yang berisi peralatan fotografi, sepucuk pistol dengan peredam, sebilah pisau komando, sebungkus kecil serbuk arsenik, dan sepasang sarung tangan tipis berbahan karet.

Peralatan-peralatan inilah yang sering kugunakan dalam menjalankan aksi pembunuhan. Aku tak tahu mana yang akan kugunakan. Situasi dan keadaan menjelang ajal orang yang menjadi sasarankulah yang menentukan peralatan mana yang akan terpakai.

Jalan mendaki yang kulewati kini, lurus membentang. Di depan mataku, persis di kaki bukit, kulihat ada sebuah vila besar bergaya Eropa, yang seolah-olah mendadak muncul dari balik kabut. Denting harpa terdengar jelas dari arah vila itu, aku jadi tak ragu mengarah ke sana. Aku memencet bel. Denting harpa berhenti. Kemudian, muncul seorang perempuan cantik. Dari jauh, ia sudah tersenyum ramah menyambutku. Di balik pagar, ia langsung menyapa, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf mengganggu. Saya penasaran. Dari tadi, saya mendengar petikan harpa yang indah di sekitar sini. Saya ingin sekali berkenalan dengan pemetiknya. Apa benar berasal dari vila ini?"

"Ya..." jawabnya pelan.

"Andakah pemetiknya?"

"Ya..." Ia dengan senang hati mengajakku melintasi jalan kecil di samping vila untuk menuju ke taman belakang.

Taman itu adalah taman yang ditata sedemikian rupa, dimana tanaman-tanaman pangkasnya yang hijau seluruh, dibiarkan tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, membentengi jalan kecil yang melingkar-lingkar yang tak kuketahui dimana ujungnya.

Di bagian tengah taman itu ada sebuah spring bed yang besar dengan naungan fiberglass permanen yang terpasang di atasnya. Di atas ranjang itu terbaring sebuah harpa. Perempuan itu duduk di tepi ranjang sementara aku duduk di hadapannya, pada bangku batu. Aku berbohong padanya, mengaku sebagi Nino, fotografer dari sebuah majalah fotografi di Jakarta dan aku datang ke daerah Puncak ini untuk mengambil foto aktifitas pemetikan teh yang ada di kebun teh. Ia tak mungkin kuberitahu, jika sesungguhnya peralatan fotografi itu akan kugunakan untuk memotret tubuhnya yang sudah dingin menjadi mayat nanti.

"Jadi, Anda wartawan?" Ia menanyaiku dengan ekspresi penuh kecurigaan sambil menuangkan teh dari teko ke gelas kecil. Aku tak menjawabnya sebab, jika aku menjawab, percakapan akan semakin panjang dan waktuku akan terbuang percuma dan rencanaku pun tak akan tuntas. Langsung saja, ketika ia masih dalam posisi membelakangi, kucekik leher putihnya setelah sepasang tanganku mengenakan sarung tangan tipis berbahan plastik. Ia tidak memberikan perlawanan yang berarti. Cangkir teh di tangannya jatuh. Air panas membasahi sepatu ketsku. Aku tak pedulikan panas itu. Perlahan, ia kesulitan bernafas. Nafanya habis dan hanya dalam hitungan menit, nyawanya sudah melayang.

*

"Jadi, Anda wartawan?" Pertanyaan itu membangunkanku dari imajinasi sesaat tadi. Sepertinya, aku tak akan membunuhnya dengan cara seperti itu. Terlalu buruk untuk perempuan secantik ini.

Aku menyambut cangkir teh yang ia sodorkan dan berusaha mejawab : "Bukan! Saya hanya fotografer. Saya bukan wartawan." Mendengar itu, ia tersenyum lantas mulai bercerita kepadaku bahwa ia sangat takut bertemu dengan wartawan. Ketika kutanya mengapa, ia bilang dirinya merupakan bagian dari rahasia seseorang yang mempunyai kedudukan politis yang penting di negeri ini. "Dia Senator". Katanya lagi, jika sampai ada wartawan yang mengetahu rahasia mereka, maka tamatlah karir kekasihnya itu. Tanpa malu-malu ia memberikan pengakuan yang lebih jauh lagi kepadaku bahwa dia berstatus sebagai wanita simpanan sang Senator.

"Sudah tiga bulan ia tidak menandatangiku. Ia sibuk melawat ke luar negeri."

Aku hanya mengangguk tak begitu peduli. Ia kembali duduk di ranjang, meraih harpanya untuk kemudian ia petik, mengiringi acara minum teh kami. Dalam iringan harpa ia kembali bercerita, "Sebenarnya, aku tidak pernah mengira hidupku bersamanya akan seperti ini. Tinggal di vila besar, penuh dengan kemewahan, tapi dibiarkan sendirian." Ia berdiri, membawa harpanya, meninggalkan meja tehnya dan membelakangiku sambil memejam. Tidak kusiakan kesempatan itu.

Aku langsung bergegas menuju ke meja tehnya. Kutuangkan serbuk arsenik ke dalam gelas tehnya. Mungkin dengan cara inilah ia pantas mendapatkan kematian sebab sebagai perempuan cantik, ia tak pantas dibunuh dengan cara kekerasan. Aku langsung kembali ke tempat dudukku, setelah menuangkan arsenik itu, tentu tanpa sepengetahuannya.

Ia berhenti memetik harpa, kembali duduk di samping meja tehnya untuk menyeruput cangkir teh itu. Ia terus bercerita dan melanjutkan lagi petikan harpanya.

"Sampai sekarang ini, ia tidak berhenti membanjiriku dengan uang dan hadiah. Padahal, aku tak begitu butuh semua itu. Aku menginginkan status yang pasti. Aku ingin ia segera menikahiku. Jika aku mengatakan itu padanya, ia tak pernah menanggapinya dengan serius."

Sekitar lima belas menit kemudian, perempuan itu berhenti memetik harpanya, membaringkannya. Ia berusaha berbaring di atas spring bed tapi tidak bisa. Matanya membelalak tiba-tiba padaku. Ia memegang perutnya sambil menahan rasa sakit yang teramat. Muntahan bercampur darahpun tersemburat dari mulutnya. Ia berusaha menggapai-gapaiku, meminta tolong. Aku tak peduli. Tubuhnya kubiarkan terjerembab di tanah. Kulihat, ia tak lagi bergerak dan matanya terpejam dalam. Tampaknya arsenik yang kuberikan sudah bekerja dengan baik. Peralatan fotografi langsung kusiapkan untuk mengambil fotonya dalam kondisi sudah menjadi mayat itu.

*

"HARPA ini ia beli di Paris dua tahun yang lalu waktu ia ikut lawatan ke Perancis. Ini adalah jenis harpa yang kuno. Harganya mahal. Hanya ini pemberiannya yang kusuka. Harpa dari Paris.." Ia masih berpejam dan berbaring ketika melanjutkan ceritanya itu. Aku tersadarkan lagi dari angan sesaat untuk kedua kalinya. Kini, aku belum mendapatkan saat yang tepat untuk menuangkan serbuk arsenik itu ke dalam gelas tehnya.

Aku mendekat, mengambil harpa itu setelah ia menyodorkannya kepadaku. Kuperhatikan harpa itu memang sangat indah bentuknya. Dan sepertinya sudah berusia tua. Kukembalikan harpa itu kepadanya. Ia mulai lagi memetiknya. Aku kembali duduk, mengambil cangkir tehku, menghirupnya sedikit demi sedikit sambil terus menikmati denting yang cantik dari harpa itu.

Ia terus bercerita bahwa dulunya ia sempat kuliah di sekolah seni selama enam semester. Ia mengambil jurusan alat musik tradisional. Selama dua semester itulah ia sempat belajar memetik harpa. Namun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah mendapatkan tawaran menjadi sekretaris pribadi sang Senator dan diantara mereka kemudian berkembang hubungan percintaan.

Meski orang tuanya menentang keputusan itu, ia tidak peduli. Malahan ia melangkah lebih jauh lagi. Ia menerima saja untuk dijadikan sebagai gendak lelaki yang sudah beristri itu. Orang tuanya menjadi semakin murka mendengar kabar tersebut hingga kemudian membuat mereka tak lagi menganggapnya sebagai anak meski ia adalah satu- satunya anak mereka.

"Akhir-akhir ini, pikiranku terus tertuju pada mereka berdua. Aku menyesal..." Dari air matanya yang menitik, aku tahu ia sudah lama merasakan kesepian yang menyakitkan. Aku mencoba menenangkannya dengan bahasa tubuh yang penuh simpati. Lumayan, ia jadi berhenti bersedih.

Pada detik ini, sesuatu membuatku tersadar bahwa aku seharusnya tak boleh hanyut dalam buaian ceritanya yang berkelindan dengan waktu. Bagaimanapun, aku tak bisa membiarkan waktuku terbuang percuma. Aku harus segera membunuh dan membawa foto mayatnya untuk segera mendapatkan imbalan yang dijanjikan.

Aku tak lagi memikirkan cara yang pantas untuk membunuh perempuan cantik itu. Apapun caranya kini, ia harus segera mati. Namun, sebelum melakukan aksi, ia tiba-tiba menarik lenganku, "Ikuti aku", ajaknya. Kami berlari kecil menuju ke bagian dalam taman labirin itu. Anehnya, seperti terhipnotis, aku menurut saja ke mana ia membawaku.

Kami terus berlari masuk dan masuk dari satu petak ke petak lainnya. Membelok ke kiri, ke kanan, menemukan jalan buntu, kembali lagi ke arah semula, mencari jalan lagi, berjalan terus masuk, keluar, masuk, keluar, jalan buntu, kembali lagi, jalan lagi. Akupun tak lagi tahu di petak bagian mana letak segala senjata yang rencananya akan kugunakan untuk membunuhnya.

Untuk menenangkan napasnya yang sudah satu-satu, ia berhenti dan mengajakku duduk pada sebuah bangku batu. Aku segera mengajaknya untuk kembali ke petak tempat kami menikmati teh kami tadi dengan maksud agar aku bisa mengambil pistol dan segera menembaknya. Bukannya mengiyakan, ia malah tertawa dan dengan santainya berkata, "Aku tak tahu kita berada di petak yang mana dan aku tidak tahu jalan keluar." Aku panik, dia malah menarikku, memelukku, membawaku berguling-guling di atas rumput permadani yang ada dalam taman labirin itu.

*

DENGAN wajah yang dihiasi senyuman penuh kebahagiaan, ia berdiri di balik pagar untuk melepas kepergianku. Kami baru saja menemukan jalan keluar dari taman labirin itu ketika matahari sudah condong ke barat. Aku segera meninggalkannya, meninggalkan vila itu, meninggalkan taman labirin, meninggalkan sebuah peristiwa, untuk kembali lagi beberapa hari kemudian.

Sungguh, kecantikan perempuan pemetik harpa ini telah meruntuhkan naluriku untuk membunuhnya. Aku akan segera kembali ke kota, menemui sang kekasihnya bukan dengan maksud mengakui kegagalanku membunuh perempuan itu kali ini dan meminta tambahan waktu, tapi aku datang justru untuk mem- bunuhnya atas permintaan si perempuan pemetik harpa. ***


cerpen cinta yg dibungkus kafan

Cinta yang Dibungkus Kafan

Cerpen Ahmad Syam Silakan Simak!
Dimuat di Lampung post Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 237 kali

Rosdiah memang pantas membuat setiap lelaki Desa Sattu tergila-gila. Rosdiah, tidak sebagaimana pada umumnya gadis-gadis lain di desa tersebut, kulitnya putih bersih. Wajahnya bundar persis bulan purnama yang sempurna. Jika sedang malu, terlihat tanda kemerah-merahan di pipinya.

Matanya akan berbinar-binar seperti bintang-gemintang bila diajak bicara. Itu menciptakan kesan bahwa di dasar matanya tersebut terdapat telaga keriangan.

Meski kerudung panjang dan baju kurung selalu rapi membungkus tubuh semampainya, tidak berarti tertutup keindahan pada tubuh itu. Toh cara berjalan remaja yang tahun ini baru saja menyelesaikan sekolah ibtidaiah melenggak-lenggok bak seorang peragawati.

Tidak ada yang tahu di mana Rosdiah mempelajari cara berjalan demikian. Apakah melalui tontonan di televisi? Apakah di kota saat dia berkunjung ke sana? Tidak ada warga desa yang mengetahui persis.

Bagi para lelaki, yang muda maupun yang telah beristri, itu bukan hal penting untuk diketahui. Bagi mereka jauh lebih penting memikirkan cara menarik hati Rosdiah. Menuntaskan hasrat yang selama ini terpendam dalam-dalam.

Atas desakan hasrat itu pula, Karaeng Beta mengikhlaskan dirinya dalam perjuangan yang teramat besar baginya di malam ini.

***

Sebenarnya Karaeng Beta tidak perlu merepotkan diri dengan melakukan semua itu. Kalau benar-benar mau dia akan mudah menjinakkan Rosdiah dengan harta yang dimiliki dan kebangsawanan yang dia sandang. Tentu Rosdiah, kedua orang tua, serta keluarga besarnya pun tidak akan sanggup menahan keinginan bersuamikan dan bermenantukan seorang karaeng. Harapan yang juga dipendam para gadis dan orang tua lainnya.

Tetapi Karaeng Beta punya pertimbangan lain. Dia tahu kalau bukan hanya dirinya yang kepincut kecantikan Rosdiah. Hampir semua lelaki di Desa Sattu menaruh hati padanya. Tidak terkecuali putra sulung wakil bupati dan anak remaja kepala kecamatan yang saban sore nongkrong di rumah Rosdiah. Bagi Karaeng Beta, kedua pemuda ini menjadi pesaingnya mendapatkan Rosdiah karena orang tua mereka adalah pejabat kabupaten.

Karena Karaeng Beta tahu bahwa setiap lelaki yang menaruh hati pada Rosdiah akan meminta bantuan Daeng Bonto, maka dia juga melakukan hal yang sama. Dia malah bersedia memberi upah lebih besar dari bayaran yang biasa diminta Daeng Bonto, dukun yang telah malang-melintang dan jarang gagal menangani urusan jodoh. Dengan bayaran lebih besar, ditambah janji bonus yang akan diserahkan kepada Daeng Bonto, Karaeng Beta mengusung keyakinan tinggi akan menjadi pemenang dalam persaingan memperebutkan Rosdiah.

Sebab itu, dia juga telah menyusun rencana mengajak Rosdiah silariang. Dia akan membawa sang pujaan hati ke tempat yang jauh. Kalau perlu, dia akan membawa Rosdiah ke Sumatera atau Papua sehingga keluarganya, termasuk anak dan istri, tidak bisa melacak keberadaan mereka.

Tentu seluruh warga desa akan dibuat gempar jika dia dan Rosdiah silariang. Warga akan membicarakan perihal dirinya yang lebih pantas menjadi bapak dari Rosdiah. Apalah dia yang seorang karaeng hanya mengawini gadis biasa dengan kekayaan yang tidak seberapa.

Istri, anak-anak, dan keluarga besar Karaeng Beta akan menyerang keluarga Rosdiah dengan kata-kata yang melecehkan. Bila dengan cara itu belum cukup menawar sakit hati, segalanya mungkin akan berakhir dengannya pecahnya kaca-kaca jendela rumah Rosdiah karena lemparan batu.

Keluarga Rosdiah niscaya tidak akan membalas perbuatan keluarga Karaeng Beta. Secara kultur mereka telanjur dianggap bersalah karena mengingkari nilai-nilai kepantasan.

Kegundahan hati akibat pelecahan tersebut diredam dengan kesabaran. Mereka hanya membuka mulut kepada para tetangga tanpa memiliki keberanian untuk berhadap-hadapan langsung dengan keluarga Karaeng Beta.

Tetapi kegundahan keluarga Rosdiah itu hanya ibarat busa di lautan yang dengan mudah dihempaskan gelombang kegembiraan tiada tara. Dalam hati, keluarga besar Rosdiah akan bersorak kegirangan karena berhasil berkerabat dengan turunan karaeng.

Lalu, warga desa akan saling berbisik; gadis tidak tahu malu, percuma dia berkerudung panjang kalau dengan gampangnya diajak silariang.

Ibu-ibu yang memiliki anak gadis yang paling terpukul, sekaligus dilematis. Satu sisi, mereka merasa anak-anak gadisnya telah kalah oleh Rosdiah. Tapi di lain sisi, mereka senang karena akan terbebas dari tugas sampingan menjagai secara diam-diam suami mereka dari pesona Rosdiah.

***

Dan pada waktu yang telah ditetapkan, malam Jumat di bulan tua, Karaeng Beta, telah mempersiapkan segalanya. Bunga mawar merah, sepotong kain baju bodo' merah tua, linggis kecil, dan sebotol air yang telah diberi berkah Daeng Bonto.

Dia harus menunggu istri dan anak-anaknya tertidur untuk melaksanakan hajatnya. Karaeng Beta telah mencampurkan air penerbit rasa kantuk ke minuman mereka menjelang petang. Memasukkan sepuluh biji beras merah pemberian Daeng Bonto ke dalam sarung bantal mereka. Tujuannya agar mereka tidur lebih cepat dan nyenyak. Daeng Bonto berulang kali mengingatkannya agar tidak seorang pun mengetahui dan melihatnya malam ini.

Prosesi appataba harus mengikuti setiap ketentuan sebagaimana anjuran dukun. Apalagi, dukun sekaliber Daeng Bonto yang sudah tersohor dan disegani ilmunya itu. Menyalahi syarat appataba bisa berakibat fatal bagi yang melakukan.

Salma, perawan tua Haji Natsir, merasakan akibat dari kesalahan appataba. Menurut cerita yang berkembang, dia lupa menyiramkan air berkah pada mawar merah yang telah dia tanam. Kini, pada setiap tengah malam, dia berteriak-teriak tak kuasa menahan panas di seluruh tubuh.

Soal kepercayaan warga desa terhadap perdukunan memang sudah turun-temurun. Bahkan sebelum dokter-dokter datang ke desa dan puskesmas-puskesmas didirikan, dukun-dukun dirujuk bila ada warga desa yang sakit. Kadang mereka sembuh. Namun, tidak sedikit yang justru semakin memburuk dan akhirnya meninggal.

Dahulu terdapat sejumlah dukun yang menetap di Desa Sattu dan desa-desa sekitarnya. Seiring waktu jumlahnya berkurang. Banyak di antara para dukun tersebut meninggal dunia. Anak-anak mereka lebih senang bekerja di kota ketimbang mewarisi ilmu perdukunan.

Ada juga cerita lain soal berkurangnya jumlah dukun. Katanya, sebagian dari mereka alih profesi setelah para ustaz intens menyampaikan kepada warga desa bahwa appataba termasuk perbuatan dosa. Imam desa, pada setiap ceramah tarawih di bulan Ramadan, tidak pernah lupa menyisipkan tema larangan appataba karena bisa menyebabkan celaka bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Sekarang tersisa Daeng Bonto dan Daeng Tarang, dukun dari Desa Camba. Ada kesepakatan umum yang mengganggap ilmu keduanya setingkat. Kemampuan keduanya sama.

Tetapi Daeng Bonto lebih dikenal sebagai dukun yang menguasai soal cinta dan perjodohan. Dia dikenal dengan ajian bunga mawar merah dan sepotong kain baju bodo'. Sedangkan Daeng Tarang dengan tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan siap membalaskan sakit hati dan amarah. Jadilah Daeng Bonto menjadi simbol kehidupan, sementara Daeng Tarang perlambang kematian.

Dan ketika malam merangkak semakin larut, Karaeng Beta telah begitu dekat ke rumah Rosdiah, sang gadis pujaan. Dia berharap Rosdiah ada di rumah malam ini. Demikianlah syarat yang diminta Daeng Bonto. Lagi pula, kalau Rosdiah tidak di rumah malam-malam begini, ke mana seorang gadis desa akan pergi, dan berkerudung pula, sepulang berjemaah isya di surau?

Sebenarnya jika melewati jalan desa, jalan yang baru saja dilakukan pengaspalan dan didirikan tiang-tiang lampu jalanan, jarak ke rumah Rosdiah hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki.

Tetapi demi menjaga kerahasiaan, Karaeng Beta mengambil jalur lain. Dia berjalan di bawah cahaya bulan tua yang suram dengan penerangan lampu senter kecilnya. Menyusuri anak sungai yang berbatu-batu dan licin, menyisir ladang jagung luas, dan membelah kebun bambu.

Dia harus merelakan kakinya lecet terentuk batu kali, atau menahan rasa gatal tergores daun-daun jagung, juga membuang perasaan gentar atas jeritan batang-batang bambu yang bergesetan kala diterpa angin. Belum lagi rasa khawatir kalau-kalau berpapasan kawanan anjing liar dan lapar yang bisa menjadi sangat berbahaya karena sewaktu-waktu menyerang.

Dari balik kebun pisang, di belakang rumah Rosdiah, Karaeng Beta mengintai hingga benar-benar yakin tidak ada orang yang mengetahui keberadaan dirinya. Dengan cermat dia memperhatikan rumah Rosdiah dan rumah-rumah sekitarnya, menanti hingga lampu-lampu di rumah tersebut dipadamkan, ditinggal tidur penghuninya.

Saatnya tiba. Karaeng Beta keluar dari persembunyiannya. Berjalan perlahan dan sangat pelan menuju kolong rumah Rosdiah--rumah khas Makassar adalah rumah panggung dan memiliki tangga. Jantungnya berdegub keras. Dengan susah payah dia mengatur napas yang seperti memburu.

Karaeng Beta kini tepat di bawah tangga rumah Rosdiah. Dia membungkukkan tubuhnya saat berjalan ke anak tangga paling bawah. Sebagaimana lazimnya rumah-rumah di Desa Sattu, batu penyanggah tangga adalah batu besar setinggi kurang lebih empat puluh sentimeter yang diambil dari pegunungan. Ini memberi ruang yang cukup baginya membuang lubang di bawah anak tangga pertama dengan posisi badan yang nyaman.

Dia harus membuat lubang tepat di bawah anak tangga rumah Rosdiah. Membungkus bunga mawar dengan potongan kain baju bodo' dan menguburnya. Menutup lubang sedemikian rapi dan rata hingga tidak tampak bekas galian. Kemudian menyiramnya dengan air berkah Daeng Bonto.

Ketika menghujamkan linggis kecil ke tanah, tangannya bergetar hebat. Mata linggis seperti membentur tanah liat kering meski kenyataannya hanyalah tanah biasa yang masih basah karena hujan seharian kemarin.

Keringat dingin mulai bercucuran di kedua pelipis yang sesekali dia sapu dengan lengan bajunya. Karaeng Beta terus menggali sambil berusaha agar bunyi linggis yang membentur tanah tidak lebih besar dari suara jangkrik. Dia tidak ingin orang-orang di rumah Rosdiah terbangun.

Pada kedalaman lubang seperti yang dia inginkan, tiba-tiba dia terkejut dengan penemuan yang tidak dia harapkan; sebungkus potongan kain kafan yang berisi tiga jarum. Amarah dan rasa penasaran berbaur menjadi satu. Dia tahu pappataba itu milik Daeng Tarang. Tetapi, siapakah yang telah mengirimkan pappataba tersebut kepada Rosdiah? Siapakah yang justru ingin mencelakai, bahkan membunuh, Rosdiah?

Karaeng Beta mencoba membuat lubang di samping lubang yang pertama. Namun hasil yang dia dapat tetap sama, tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan. Demikian seterusnya hingga sepuluh lubang yang dia buat. Lubang-lubang yang lebih menguras emosi ketimbang tenaganya.

Amarahnya memuncak. Otot wajahnya mengeras. Giginya gemertak. Namun dia tetap menggali lubang. Terlintas dipikirannya menghubungi Daeng Tarang dan Daeng Bonto keesokan hari untuk meminta penawar pappataba. Tetapi dia buang pikiran itu saat menemukan mawar merah di dalam bungkusan kain kafan pada lubang ke sebelas. ***

Makassar, Januari, 2009


cerpen 20 keping puzzle cerita

20 Keping Puzzle Cerita

Cerpen Agus Noor Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 289 kali

Ambulans yang Lewat Tengah Malam

Ambulans yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. “Aku tak mau mati kecelakaan lagi,” katamu. “Sini, biar saya setir.” Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati. Kulihat ambulans itu melintas pelan menuju rumahmu.

Sirene

Kelak, sejak kematianmu itu, anak-anak di kampung kami selalu ketakutan bila mendengar sirene. Bila ada anak yang rewel, si ibu akan menakut-nakuti, “Nanti kau diculik ambulans....” Setiap ada sirene melintas, anak-anak yang tengah bermain gobag sodor atau petak umpet buru-buru berlarian masuk rumah. “Mereka selalu ngeri membayangkan ambulans yang disetiri mayatmu,” kataku.

Kau tersenyum mendengar kisah itu.

Kucing Hitam

Aku ingat, saat para tetangga datang melayat. Banyak yang penasaran kenapa kau mati begitu mendadak. Mereka bercakap nyaris berbisik, menduga-duga--mungkin ada juga yang diam-diam menggunjingkanmu--sementara jenazahmu berbaring tenang. Bau kematian seperti mengendap dalam ruangan.

Saat itulah, mendadak, seseorang menjerit, ketika melihat seekor kucing hitam melompati jenazahmu. Beberapa pelayat yakin: saat itu mereka melihat matamu berkedip-kedip.

Kasus Salah Tangkap

Sampai kini, kematianmu masih berupa misteri bagi kami.

Beberapa orang meyakini, hari itu kau diciduk polisi. Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh membunuh istrimu. Padahal istrimu masih hidup. Kaulah yang mati.

Misteri Mutilasi

Tetapi beberapa orang yang lain bilang, kalau kau sesungguhnya mati bunuh diri. “Kuperhatikan ia tampak murung belakangan ini,” seseorang berkata. “Aku yakin ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan untuk menghilangkan jejak, ia segera membuangnya ke pinggir kali.”

Itulah sebabnya, kata orang itu melanjutkan, polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai kini!

Tentang Seorang Perempuan

Seminggu setelah pemakamanmu, seorang perempuan muncul di kampung kami. Ia menggendong bayi mungil. Wajahnya gugup dan pucat, tetapi tak menghapus kecantikannya. Seolah takut ketahuan, perempuan itu menanyakan di mana rumahmu. Sikapnya membuat kami curiga: jangan-jangan ia istri kedua atau simpananmu.

Lalu seorang warga menjelaskan, kalau kau sudah mati.

“Mati?” ia terlihat tak percaya. “Barusan tadi pagi aku bertemu dengannya....”

Cerita Pelayan Kafe

Seorang tetangga, yang bekerja sebagai pelayan kafe, satu malam menemuiku. Ia bilang, ia juga barusan melihatmu.

Ia melihatmu duduk di sudut remang kafe tempatnya bekerja. Memesan minuman ringan dan kentang goreng. “Katanya ia janjian mau ketemu dengan sampeyan.”

Tapi semalaman aku lembur di kantor, tegasku.

“Ya, ia memang terus sendirian, tapi seolah bercakap-cakap dengan sampeyan yang tak pernah datang.” Sampai kafe tutup. Namun para pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu. “Sebelum aku pulang, ia menitipkan ini padaku.” Ia menyodorkan sekeping koin. Dan aku segera mengenalinya.

Pada Sebuah Kuburan

Dulu, semasa kanak, kita menemukan sekeping koin perak kusam di pekuburan. Kita memang sering keluyuran ke pekuburan selatan kampung itu. Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Sering, bila tengah malam, terdengar suara yang terus melolong. Aku selalu ketakutan. Seperti kudengar suara lolong menyayat orang sekarat. Tapi kau malah cekikikan.

“Kelak,” katamu, “aku akan mati menjerit kesakitan seperti itu. Aku akan mati terpotong-potong, dan dibuang ke kuburan ini....”

Kemenyan

Barangkali kamu memang tak pernah mati.

Para peronda sering melihatmu berkelebat pulang malam-malam. Mereka kadang juga samar-samar melihatmu duduk-duduk di beranda rumahmu--sesekali batuk-batuk kecil atau berdehem--sembari menikmati rokok kretek. Tapi para peronda itu mencium aroma kemenyan merebak di udara yang seketika terasa menjadi lembab.

Para peronda juga sering melihat istrimu tengah malam berdiri di pintu menunggumu.

Seusai Pemakaman

Aku jadi ingat pada sore seusai pemakaman. Para pelayat baru saja menguburkanmu. Saat itu aku melintas depan rumahmu, dan kulihat kau seperti baru saja pulang. “Ayah pulang! Ayah pulang!” anak-anakmu berlarian riang menyambutmu. Bergelayutan manja pada lenganmu.

Di pintu, kusaksikan mata istrimu berlinang.

Koin Hitam

Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikan koin itu, yang ada hanya istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik ke halaman, takut ada yang memergoki.

Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.

Kapak

Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, “Kau punya kapak?”

Apakah kau akan membelah kayu malam-malam begini?

Lalu kau bercerita. “Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya....”

Tukang Ramal

Kita belum lagi genap tiga belas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warna-warni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.

Tukang ramal itu menyeringai menatap kita “Kalian memang sahabat yang luar biasa,” katanya, “karena kalian mencintai perempuan yang sama.” Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu menarik tanganku. “Dan kau, kau akan mati karena tabrak lari.”

Alibi

Cerita ini kudengar dari para tetangga, karena saat itu aku memang sudah menjauh dari hidupmu.

Mereka mendengar suara istrimu menjerit kesakitan. Itulah jerit kematian paling mengerikan. Pagi harinya, mereka menemukan istrimu mati dengan kepala pecah. Kapak itu tak pernah ditemukan. Meski para tetangga curiga, polisi tak bisa mendakwamu, karena saat itu kau tak ada di tempat kejadian. Kau juga sedang berada di tempat lain, ketika ketiga anakmu ditemukan mati mengenaskan.

Dan para tetangga yang keheranan kemudian mengatakan: ketika mayatmu ditemukan, polisi pun tak bisa mendakwamu. Karena kau juga tak ada di tempat kejadian.

Saat itu kupikir mereka terlalu melebih-lebihkan.

Anjing

Kawan-kawan sepermainan sering bilang, kita pasangan serasi. Mereka tak tahu kalau kau tak menyukaiku yang pendiam. “Kau terlihat mengerikan bila sedang diam,” katamu selalu. “Seperti ada seorang pembunuh yang diam-diam sedang menguasai tubuhmu.”

Suatu hari kau marah karena nyaris digigit anjing tetanggamu. Aku hanya diam mendengar ceritamu. Dua hari kemudian kau mendapati anjing itu mati digorok dan digantung di pagar rumah tetanggamu.

Teka-teki Wajah Pembunuh

Inilah permainan yang kita sukai, menebak teka-teki: bila kelak kita mati terbunuh, seperti apakah wajah pembunuh itu? Kemudian kita masing-masing mengambil kertas dan pensil, membayangkan wajah itu, dan menggambarnya.

Kita melipat kertas itu setelah selesai. Memasukkannya ke amplop, lantas membakarnya, agar kita bisa terus penasaran dan menebak-nebak wajah siapakah yang kau gambar dan aku gambar. Menyimpan rahasia memang selalu mendebarkan.

“Aku bisa menduga, wajah siapa yang kau gambar,” katamu, sambil memandangi api yang melahap kertas itu.

Kubayangkan wajah itu hangus dalam api.

Sumur Tua di Belakang Rumah

Ada sumur tua di belakang rumah kakekmu. Konon, airnya selalu berwarna merah setiap purnama. Di jaman Gestapu dulu, kakekmu dibantai dan dilempar ke sumur itu. Sejak itu, siapa pun tak berani mendekat.

Tapi diam-diam kita suka ke sana, menjenguk ke dalamnya, berharap menyaksikan mayat kakekmu mengapung. Airnya memang begitu bening. Yang kita lihat justru bayangan mayat kita sendiri: memar, rusak dan berdarah karena kecelakaan. Meringkuk di dasar sumur itu.

Puisi Cinta Semasa Remaja

Kau tahu aku suka puisi. Karena itu, ketika kau jatuh cinta, kau memintaku menulis puisi. Kau sebut nama gadis yang telah membuatmu jatuh cinta. Aku pun segera tahu: itulah puisi paling bagus yang bakal berhasil aku tulis.

Kau senang sekali dengan puisi itu. “Kamu benar-benar bisa melukiskan seluruh perasaanku,” katamu. Tidak, aku tak menuliskan perasaanmu, jawabku. Dalam diam tentu saja.

Mayat dalam Koper

Setelah kau menikah, aku memilih pergi mengembara. Ketika tak ada kabar, kau sering membayangkanku sudah mati. Kemudian dari para tetangga aku mendengar, bila sedang ronda kau suka cerita, kalau aku tak lain psikopat yang dicari-cari polisi. “Suatu hari psikopat itu memotong-motong tubuhnya sendiri. Dan sebelum polisi tiba, ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya sendiri.”

Mereka selalu tertawa mendengar cerita itu.

Tabrak Lari

Lalu hari sebagaimana diramalkan itu tiba.

Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak ambulans yang langsung melarikan diri. Ambulans hantu, kata orang-orang. Ambulans yang disetiri mayat yang dibawanya.

Kau menangis menceritakan semua kisah ini padaku yang tadi pagi mati karena tabrak lari. ***

Jakarta, 2009


cerpen minah indon

Minah Indon

Cerpen Arlen Ara Guci Silakan Simak!
Dimuat di Batam Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 283 kali

Minah memang gadis dusun. Semua yang melekat di diri betul-betul cerminan kampungan. Walau dipoles Mustika Ratu sekali pun, style Minah justru kian tak menjadi. Saat rambutnya diberi warna keemasan, banyak bujang-bujang berujar Minah tak ubah bule kecemplung kali. Saat kuku-kukunya berwarna ungu, tak jarang yang bilang Minah seperti Vampire melompat kehausan darah. Saat Minah berbaju merah, warga jadi geli. Kata mereka, Minah seroman dendeng balado. Kata tetua dulu berlaku betul di gadis lugu itu. Kalau akal yang kurang, entah dengan apa ditambah. Tapi Minah tak kisah dengan pandangan warga. Prinsip Minah, biar muka kampungan, tapi rejeki bisa aja kota. Seperti penyanyi dangdut pujaannya. Cuma bermodal geal-geol pantat, suara pas-pasan toh jadi selebritis juga. Nasib orang siapa yang bisa mengira, cetus Minah saat dirinya resmi pembantu, orang yang tak kaya amat di seberang.

Menjadi TKI jelas bukan cita-cita Minah ketika ia didepak dari bangku SD karena menunggak SPP tiga bulan, plus angka rapor cabe merah. Walau para guru menganjur Suminah nama lengkapnya sebaiknya masuk sekolah khusus, tapi Minah tak terima. Baginya itu sama saja para tenaga didik hendak mengatakan dirinya bermasalah. Kalau tak patut disebut ber-IQ rendah alias murid berotak udang. Sebelumnya Minah terhegeh-hegeh hendak merasakan bangku sekolah, berseragam putih merah, bukan sekadar mendapat kawan, tapi lebih dari itu, para bapak dan ibu guru yang belakangan disebut pahlawan tanpa jasa justru dirasakan Minah tak hendak membawa dirinya yang sememangnya lelet dengan alpabet dan paling tak bisa dicekoki dengan angka; kurang, tambah, kali dan bagi. Maka para guru kehabisan cara menghantar Minah jadi murid pintar. Bagi Minah pula, para guru itu tak patut disebut pelita dalam kegelapan, kalau kiranya tak mampu membawa dirinya ke alam ilmu pengetahuan.

Sejak itu Minah mengutuk sekolah. Sudahlah biaya mahal. Mulai seragam, SPP dan buku-buku berkurikulum pelajarannya berganti tiap sebentar. Minah jengah dengan sekolah. Ia pun menanam kesumat pada gurunya. Belagu! Kaya juga tidak! Rutuk Minah. Beda pada seragam saja, sudah melonjak! Repet Minah saat ia melihat dengan mata kepala, dunia sekolah toh bukan satu-satunya jalan untuk bisa meraup rupiah. Lalu membeli baju, rok, subang, atau kalau emang rejeki, bisa membuat rumah. Lagipula isi otak kok ya diukur dengan angka-angka. Minah jelas sekali berkecil hati. Minah bertekad bulat tak akan menyentuh bangku sekolah lagi. Jadilah hari itu terakhir kali menyarungkan seragam putih merah. Sekaligus tak perlu lagi ia berpenat diri di lapangan setiap Senin pagi saat mentari terasa menyengat, walau hanya sekedar menghormat bendera sambil mendengar repet pidato kepala sekolah tak lebih sekedar bermain kata-kata, tanpa tahu keadaan dirinya, mungkin juga temen-temen seperjuangan dirinya.

Umur Minah merekah masa ia tengok teman-temannya lebih tragis nasibnya; tak pernah sekolah malahan, buta huruf otomatis tak tahu baca tulis dari dirinya kok bisa membuat rumah baru. Bahkan rumah bertingkat pula. Mereka bisa pula membantu biaya sekolah adik-adiknya, ada handphone teranyar segala, hingga beli sapi dan kerbau pula. Semua itu mereka berjaya lakukannya jika dan hanya berprofesi sebagai TKI di seberang. Minah diam-diam menyuntik hasrat ke seberang pula. Apa sih susahnya jadi TKI.

Kalau kerja sekadar nyapu rumah, nyiram bunga, masak, nyuci itu pekerjaan yang lihai dikeloninya selama ini. Apalagi sejak ibunya tiada. Dialah ‘pengganti ibu bagi sembilan adik-adiknya. Mengharap bapak, itu sama artinya berpegang di kayu lapuk. Kalau tak ingat dia orang tua, Minah ingin mencuci jejak bapak di atas lantai tanah itu. Kematian ibu bukannya memberi mereka tambah dekat, justru sosok pelindung itu kerap menghilang berbilang hari. Kalau pun adakalanya singgah sebentar, tanpa ba-bi-bu, melentinglah rotan pada sembilan adik-adiknya. Sungguh Minah tak tega, bapak ringan tangan pada mereka. Minah percaya, tak apalah kering harta benda, tapi jangan kerontang perhatian dan kasih sayang. Sebagai anak paling tua, Minah tak ingin adik-adiknya mengalami nasib serupa dirinya.

Jadi TKI-lah Minah bersama beberapa teman sekampungnya. Walau tergadai subang mendiang ibunya tak apa. Kelak dari ringgit, akan diganti rumah bertingkat. Atau setidaknya warung sembako. Atau setidaknya beli handphone model terbaru. Seperti teman-teman seniornya berprofesi TKI. Alangkah beruntung Minah dari gadis-gadis dusun itu. Meski kebanyakan keinginan mereka meluap, tapi ada kesandung tak bisa berangkat ke tanah Semenanjung itu. Kebanyakan tak cukup rupiah membayar segala surat menyurat dan dokumen ke pihak jasa penyedia TKI itu. Saat cek medis, Minah mulai goyah. Cemas kalau-kalau penyakit demam berdarah yang penah dihidapnya didapati lagi riwayatnya. Namun, saat petugas kesehatan itu menyatakan dirinya sehat-sehat, merekahlah senyum Minah bersamaan sejuta angan-angan di negeri Jiran.

Bos itu mengaku asli Melayu padahal matanya sipit dan berkulit putih pasi. Kalau bicara aksennya membawa Minah pada film-film Brad Pit, Tom Cruise idolanya. Baju dan gaya jalannya membawa Minah pada sosok tante-tante senang di sinetron RCTI. Minah kecele jikalau jauh hari dia akan bekerja pada sosok perempuan-perempuan berdandan ala-ala Siti Nurhaliza. Tapi rupanya jauh panggang dari api. Ada pun kalau si bos lelaki dibenak Minah melintas abang-abang berwajah teduh. Berkumis, jenggot dan jambang tipis dan sekalu bersungkup kepalanya ala-ala anggota penyanyi nasyid Raihan yang diliatnya di tv tetangga masa bulan puasa. Semua itu tak ditemuinya. Sosok perempuan tua yang kini resmi disebutnya majikan juga tanpa laki. Dia menghuni rumah bertingkat di atas bukit dan dijaga satpam 24 jam! Kendala bahasa bagi Minah terasa menyiksa. Untungnya bahasa serumpun didengungkan sejarah lama, didengarnya satu-satu dari majikan. Selebihnya bahasa tubuh lebih banyak bicara. Sementara waktu Minah boleh bernafas. Beruntung juga, pikirnya, berjiran begitu. Jika ditengoknya pekerja-pekerja dari Bangladesh, Myanmar, Pakistan, Filipina entah dengan bahasa apa mereka bertegur sapa, pikir Minah. Apabila dilongokkan kepala keluar pagar, tetangga rupanya berkulit dan berwajah seperti Shah Rukh Khan, Salman Khan dan Kajol pujaannya. Saat majikan membawanya ke pusat beli belah, nyaris dijumpainya mereka-mereka yang bertutur dan bermuka ala Jacky Chen, Jeet Lee, dan Gong Li. Aih, untung saja negaraku berjiran, pekik Minah. Banyak kesamaan la, hibur Minah tanpa ia tahu kesamaan apa entah. Minah mendengar bahasa-bahasa digunakan keseharian, pernah di dengarnya semasa di tanah air. Itulah kesamaan yang amat azas di benak Minah.

Usai menyibak selimut, Minah bergegas ke dapur masa majikan pulas di tempat tidur. Masakan yang diminta siap. Kain pun selesai di seterika. Rumah sudah bersih. Tanaman sekeliling rumah siap disiram. Minah ingin menonton sinetron tapi cucu-cucu majikan datang. Mereka datang dengan orangtuanya. Masing-masing membawa buntelen kain sudah dipakai beberapa hari sebelumnya. Tanpa disuruh Minah cepat paham. Bukan pakaian majikan saja yang dicucinya. Kali ini majikan perlu bersuara, sudah kali ketiga Mercedesnya disiram hujan, Minah tak mencucinya. Walau belum pernah sekali pun mencuci mobil, Minah dapat instruksi dari si majikan. Rutin tiga kali seminggu itu mobil dicuci sekalian.

Disangka Minah panas berpanjangan, rupanya gerimis menanti. Begitu sedan itu mengkilap, Minah boleh merasakan empuknya duduk di dalam. Si majikan ingin Minah tahu, selain berkantor, ia ada ladang berhektar.

Dan perlu Minah sadari, tiga kali seminggu, cabut rumput di ladang itu, begitu pekerjaan rumah selesai. Minah mencoba mengerti apa arti TKI, pembantu itu. Lebih Minah mengerti, ringgit yang dijanjikan tak sekali pun digamit. Pertama kali Minah mencoba beranikan diri, kenapa haknya tak diterima jua, cukup tiga patah si majikan mengingatkan,
“Minah Indon bodoh...!” ***

Kuala Lumpur, 2009

cerpen negeri batu

Negeri Batu

Cerpen Indrian Koto Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 298 kali

Melewati tempat ini, aku kembali dibangkitkan pada ingatan ganjil tentangmu. Aku merasa, nyaris seluruh peristiwa kita tertinggal di selingkaran candi-candi hitam nan sunyi. Barangkali, kerinduan memang memberikan tempat terbanyak untuk peristiwa dan kenangan. Seperti aku kini merasakan semuanya serupa batu hitam yang terukir di antara candi-candi retak.

Aku mengenangmu, Sri. Kembali. Di sini. Aku tak tahu, saat ini sedang menyesal atau justru sedang bahagia. Menyesal karena diburu masa lalu yang berakhir buruk, bahagia karena merasa memiliki sedikit peristiwa manis.

Rasanya semua berjalan sangat cepat. Kita pernah di sini, dua tahun yang lalu, atau mungkin lebih. Waktu itu, batu-batu masih tersusun dengan rapi membentuk gugusan candi yang tak henti kita kagumi. Dua ratus dua puluh empat Candi Perwira mengapit enam belas candi lainnya. Lima puluh enam dalam satu sudut yang terbagi dalam empat bagian, katamu, ketika itu. Dan aku merasa diriku tetaplah satu dari sekian ratus candi yang mengelilingi dirimu yang berdiri menjulang di antara semua. Kau Candi Siwa yang kokoh dan besar.

Kita tak pernah meyakini segala hal yang dihembuskan banyak orang di sini. Mereka mengatakan, siapa pun yang berkunjung ke Prambanan dengan pasangannya, niscaya hubungan mereka tak akan bertahan lama. Kita meyakini cerita itu serupa Candi Sewu yang mustahil diciptakan dalam semalam, meskipun sesungguhnya kisah kita tak kalah ganjil dengan itu semua.

Percintaan memang gila dan membuat kita lupa. Mereka, orang-orang dengan bisikan-bisikan yang tak logis itu, bersikukuh dengan kehendak mereka. Dan kita bersitegang dengan keyakinan sendiri. Kelak, mungkin kita akan disatukan sebagaimana Tarup dan Nawang Wulan, Joko Kendil dan Dewi Melati.

Aih, mengapa dalam dongeng perempuan selalu muncul dari langit?

''Tapi aku bukan perempuan langit yang cengeng, setiap habis bertengkar akan meminta selendang untuk pulang,'' bisikmu pelan. ''Kita, kalaupun kelak dianggap dongeng, tetaplah dongeng yang manis. Yang tak berakhir dengan pedih sebagaimana Kamajaya dan Kamaratih.''

''Aku bukan lelaki langit sebagaimana Kamajaya. Hampir tak ada kisah semacam itu di sini. Tak ada lelaki langit yang jatuh cinta pada perempuan bumi. Hanya perempuan yang diciptakan Sang Langit, tidak lelaki. Di bumi hanya ada lelaki tolol yang diperdaya oleh kekuatan cinta yang datang dari dirinya sendiri. Lelaki dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kadang begitu konyol.''

''Dan, Ratu Pembayun? Apakah ia dari langit? Bukankah dia perempuan yang mengorbankan dirinya untuk cinta dan terjerat dengan apa yang dicintainya. Apakah ia tidak mengingatkan dirimu akan kisah kita?''

''Ia tetap langit, sebagaimana dirimu. Perempuan dengan darah biru. Kau tahu akhir kisah itu bukan? Aku akan dikenang sebagaimana Mangir, seorang kerabat yang dipandang sebagai penjahat. Menantu sekaligus musuh.''

''Apakah kau pikir hanya dirimu yang menjadi tumbal dari peristiwa ini?''

''Kau ingat bagaimana Joko Seger tak bisa memenuhi janjinya pada Roro Anteng? Sangkuriang dengan sampannya? Dan, di sini, Bandung Bondowoso yang digagalkan rencananya?''

''Tetapi aku tak hendak memintamu membikin candi dalam semalam dan diam-diam menggagalkannya. Apa hubungannya mereka dengan percintaan kita?''

''Dalam dongeng mereka suka menipu.''

''Kau tidak mengecualikan aku di dalamnya? Kau menganggapku seperti Jonggrang?'' Katamu setengah marah.

''Entahlah, aku ragu.''

Aku tak habis pikir. Siapa sesungguhnya di antara kita yang membutuhkan. Tidak sebagaimana dongeng, di mana aku, sebagai seorang lelaki harus menuntut cinta pada sang putri. Kau yang terlalu banyak meyakinkanku. Semakin kau yakinkan, semakin aku ragu akan kemampuanku. Di kepalaku, seribu candi mesti kusiapkan dalam semalam. Diam-diam, kubayangkan kau memiliki persekongkolan gaib di dalamnya. Memukul lesung dan alu, menyalakan obor dan membutakan pikiran seekor jago.

''Tinggalkan aku jika kau berpikir demikian,'' katamu. Aku tak pernah berniat untuk itu. Dan kita, tak bosan-bosan berada di sini, dan selalu di sini, menatap Candi Siwa yang tinggi, hingga matahari lenyap di sebaliknya. Lalu kita bergegas sebelum matahari jatuh di hamparan panggung terbuka yang tersembunyi di antara pohon-pohon dan padang hijau.

Kau selalu menyeretku ke tempat yang sama, di mana bayang matahari memantul di antara candi, sejauh mata memandang batu-batu hitam berukir diterpa lembayung petang. Kau tak bosan membawaku ke tempat yang ini-ini juga. Setelah sentuhan-sentuhan lembut, setelah tetesan keringat, kita akan kembali ke sini, pada ketinggian batu-batu candi Loro Jonggrang, mengagumi gugusan gunung yang menghampar di utara. Jika beruntung, kita bisa menyaksikan Merapi dari sini, serupa garis-garis tipis di antara putih kabut.

''Kenapa kau begitu menyukai tempat ini?'' tanyaku suatu waktu.

''Di sini lebih tersembunyi. Tak banyak orang mengenali kita.''

''Kau yakin? Di tempat wisata macam ini?''

''Apakah seorang yang berselingkuh memilih tempat bercinta yang terbuka?'' Kau balik bertanya. ''Kupikir tak ada yang menyangsikan kita.''

''Entahlah. Kita berada di antara sekian mitos yang mengepung. Aku candi kecil yang berkeliling menjagamu agar tak runtuh. Meski aku tahu, goncangan kecil akan membuat diriku menjadi kepingan halus yang tak berarti. Musnah lebih dulu dari dirimu. Kalaupun masih bersisa, betapa sepi akan ziarah.''

''Aku tak mengerti arah pikirmu.''

''Dan aku tak bisa merumuskan hubungan kita.''

Kau meradang, ''Katakan, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku.''

''Dan mengapa kita mesti melakukan hubungan sembunyi-sembunyi semacam ini?''

Kau diam. Matamu yang sengit berubah senyap. Duhai, Gusti. Percintaan macam apa gerangan yang kau titipkan pada kami, sepasang manusia yang hidup dalam kepungan dunia yang asing? Sebagaimana candi dan para pelancong ini. Bagiku percintaan ini bukanlah semacam wisata. Meski demikian awal mulanya.

''Kau tak mengerti,'' desismu parau.

''Apalagi yang tidak aku mengerti darimu? Apalagi yang tidak aku pahami dari percintaan yang sembunyi-sembunyi ini?''

''Kau... Kau tak mengerti apa yang aku rasakan.''

''Semengerti apa lagi yang kau harapkan? Menunggu pukulan pentungan sebelum subuh menjelang?''

''Sedari awal kisah kita sudah begitu rumit. Aku tak memintamu membikin seribu candi, tidak menolakmu dengan berbagai alasan yang tak masuk akal. Kita menjalaninya sebagaimana Rara Kasihan dengan Ki Ageng Mangir jatuh cinta. Aku tak ingin menyelesaikan kisah ini begitu saja. Aku tak ingin berakhir sampai di sini. Jika kau meminta lebih, kita tak ubahnya legenda Mataram itu. Aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak siap...'' Dan butiran hujan menggenangi lubuk matamu yang curam. Aku tak bisa melihat embun itu tersapu emosi yang ringkas ini.

''Hapus air matamu dan kita pulang.''

Tetapi waktu tak pernah pulang. Ia mengembalikan kita pada kisah yang itu-itu juga. Pertemuan-pertemuan yang tak begitu rutin, perjalanan yang diulang-ulang melewati gugusan batu yang sama, mempercakapkan hal-hal kecil dan sederhana dan berakhir dengan pertengkaran kecil yang membuat diri kita basah.

***

Bukan lantaran kutukan kita memiliki kisah yang sungsang.

Di sini berkembang perihal-perihal tak terduga. Kisah-kisah buruk dan celaka. Dunia sepertinya dipenuhi kisah-kisah murung dan sentimental, di mana sejarah mencatatnya dalam sekeping batu. Ahai, negeri batu, negeri batu, siapa yang berkehendak mengekalkan riwayat di tanah ini?

''Kita tak perlu mencatat apa-apa di sini. Biarlah riwayat kita berhamburan menjadi puing,'' kataku padamu sore itu. Petang yang manis yang harus diisi dengan tangis.

''Kau tak berniat mempertahankan kisah kita.''

''Sri, aku capek dengan kisah-kisah pedih. Terlalu banyak riwayat buruk yang aku baca di sini, di seluruh negeri ini. Aku tak ingin menambah-nambah itu semua. Kalaupun aku bisa menyunting denok ayu, tidak ada hubungannya dengan niatan awal aku ke sini.''

''Kau datang padaku dengan cerita baru dan berniat menyelesaikannya tanpa ujung?''

''Aku tak ingin melanjutkan ihwal batu. Sepertimu, aku lahir dari negeri batu. Bukan percintaan yang gagal, bukan kisah cinta yang malang, tetapi kutukan dari seorang ibu. Di sini, batu pengekal segala kisah pahit dan sungsang. Ini negeri batu. Negeri yang penuh kutuk dan pengekalan. Aku tak ingin kisah kita diselesaikan orang lain dan dikenang sebagai percintaan liar dan tak bermoral.''

''Apa ada yang salah dengan kisah kita?''

''Tak ada yang salah,'' kataku. Kita mesti bicara sepelan mungkin agar orang-orang tak terganggu dan menatap kita dengan asing.

''Tak ada yang salah aku rasa. Hanya saja, kita sedang mengulang dongeng. Kau perempuan langit yang dikungkung aturan lama. Dan, satu hal yang perlu kita sadari, ini hanyalah masalah waktu. Kenapa kita bertemu justru di saat-saat yang tidak tepat? Kau bukan lagi seorang Rara Kasihan yang bebas mengibaskan jari, menari dengan iringan gending, membiarkan semua mata memandang ayunan lekuk pinggangmu dan membiarkan Mangir masuk dalam jeratmu. Kau adalah Nyonya Tepasana, istri sah Ki Ageng Karang Lo.''

Aku pedih, kau tahu? Entah bagaimana cinta bisa tumbuh di antara hubungan liar semacam ini.

''Dan, kau manusia bumi yang berpikir cenderung modern? Manusia yang berhitung dosa dan pahala, menyadari hakikat seorang manusia. Kita pun tak sadar ada cinta yang menyela dari hubungan ganjil ini. Kau butuh makan dan aku butuh teman.''

''Bukan itu maksudku.''

Kau nyaris meratap ketika aku berkata, ''Kita mesti menyelesaikannya. Atau memulai kisah sebagaimana Arok mencuri kerajaan dan menyunting Dedes.''

''Jika memang harus demikian, mengapa tidak sejak dulu kau lakukan?''

''Aku tahu. Dan aku pun tak pernah benar-benar siap.''

''Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya? Cinta, harta atau sekadar ingin mempermalukan?''

''Jangan katakan aku tak mencintaimu. Lantaran cinta, Sri, segalanya harus diakhiri. Tersebab kau milik langit.''

''Aku selalu memberikan kesuburan untukmu.''

''Dan hanya akan sebatas itu. Mungkin kita menang pada peristiwa besar, tapi tak akan kuat menyingkirkan tikus dari sawah.''

Kau memandangku dengan tajam.

''Kita tak akan bisa beranjak dari peristiwa yang ini-ini juga.''

Dan kita berpisah. Bukankah pertemuan yang diakhiri dengan tangis akan membuat kita saling merindukan?

***

Aku tak tahu, untuk apa aku melewati tempat ini lagi. Menyaksikan candi-candi tanggal yang terpisah dari reliefnya. Candi-candi Perwira yang kecil-gagah kini tak lebih bongkahan batu tak berbentuk. Kupikir, kalaupun kelak ia berdiri lagi, masihkah ia mencatat peristiwa yang dulu juga?

Seperti candi-candi di sini yang sedang dipugar, peristiwa pun mesti berguguran. Kita dipisahkan tak hanya oleh hal-hal remeh dan sederhana, tetapi oleh takdir.

Dari tanah, kembali ke tanah.

Dan bumi merampas kau dari diriku. Menghabiskan seluruh riwayat tentang kita. Aku pulang, kembali ke tanah asal, di pulau-pulau kecil di Barat Sumatera. Pulau yang kadang dikenang orang dengan sangat menyakitkan; sebagai tempat tinggal sekelompok makhluk liar dan bar-bar.

''Orang Jawa perlu banyak belajar geografi,'' kataku padamu dulu, menyoal perihal demikian. Kau tak senang dengan leluconku yang kasar itu. Tetapi menyetujui maksud perkataanku.

Kepulangan yang kuharap penyembuh luka pun tak lagi menyediakan tempat untukku. Inikah kutukan? Apakah segala gumam yang dilontarkan benar adanya? Prambanan dan kita. Inikah makna tidak dipertemukan? Dan aku tak juga kunjung menyusulmu, meski pasang merambah kampung dan rumah kami. Peristiwa yang melanda kotamu, yang menyembunyikan dirimu ke dalam tanah, kini telah pula diciptakan di sini. Tanah kami retak dan maut mengancam setiap saat. Uh, negeri batu, akankah pulau kami berhenti pada karang dan laut luas?

Tak ada tempat yang aman untuk sembunyi. Di sini, lebih menakutkan dari maut. Akan ada gelombang besar, akan ada gelombang besar yang meratakan daratan dengan lautan. Entah dari mana dongeng itu berasal. Sodom-Gomoroh. Dan orang-orang kampung berebut keluar dari pulau dan menjual tanah mereka pada orang-orang tak dikenal.

***

Mengingatmu, Sri, adalah mengenang riwayat lampau yang memang tak pernah usang. Dan, aku merasa, sampai kini tak akan sanggup mengekalkan kisah kita dengan membangun seribu candi meski kuundang seluruh cenayang, hantu, lelembut, jin laut, dan penguasa Pantai Selatan. Sebab, candi-candi yang tanggal ini akan pasti serupa diriku, teramat susah direkatkan oleh apa pun. Kalaupun kelak candi-candi kecil itu dibangun, candi-candi besar selesai dipugar, rasanya segala peristiwa akan menjadi amat berbeda.

Mungkin kita lekat di antara batu-batu hitam tanpa ukiran. Tersembunyi di belahan yang lain riwayat Candi Prambanan yang kini terus dipugar. ***

Juni 2008

cerpen di jaring laba-laba

Di Jaring Laba-Laba

Cerpen Anggoro Gunawan Silakan Simak!
Dimuat di Jurnal Nasional Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 356 kali

Ia teman yang menyenangkan. Dari pandang pertama saja aku sudah bisa tahu hal itu. Orang biasanya mudah dikenali dengan tatap matanya. Matanya penuh permainan. Aku suka permainan.

"Jika kau diberitahu bahwa kau besok akan mati bagaimana?"

SMS itu kuterima larut malam. Entah apa yang ada di pikirannya, padahal tadinya aku mengirim SMS berita kematian seorang budayawan. Lama aku berpikir mencari jawaban. Aku tidak ingin kelihatan tolol dengan jawaban konyol. Mungkin temanku itu yang akan kuberi tahu dulu kabar kematian ini, melalui SMS tentu saja. Aku akan pamitan dan berharap bisa berteman di alam kubur. Atau, aku akan mendatanginya dan bercerita apa saja. Ya, seperti perbicangan di sudut warung kopi. Sambil menyerutup espresso atau cappucino. Dan begitu ajal datang, darahku penuh kafein. Pada akhirnya, justru SMS tolol yang kukirim.

"Aku akan bilang pada si pembawa pesan, aku tak percaya. Tuhan biasanya tidak seperti ini. Kalau kamu?"

Aku tak percaya ada prosedur pemberitahuan dulu sebelum datangnya malaikat pencabut hayat, dan ini jawaban paling masuk akal. Aku tidak ingin kelihatan bodoh. Aku juga tak ingin dia tahu aku sedang memikirkan keganjilannya. Cukup lama ia menjawab.

"Aku akan bercinta dan mati di pelukan kekasihku."

Romantis. Ia mengutipnya dari film Almodovar. Perempuan ini gila film. Kadang aku menemaninya menonton, entah di gedung bioskop, entah di pusat kebudayaan, entah cuma berdua memutar DVD di kamarnya. Pertemanan ini gegap gempita dengan setumpuk skenario. Plotnya bermacam-macam. Aku suka skenario berakhir ceria, ia suka duka di ujung cerita.

Aku ingat saat kami menonton Unbearable Lightness of Being, kami tiduran di ranjang. Film yang diambil dari karya Milan Kundera ini memicu hormon lain. Tapi dia kan teman? Teman harus mampu mengendalikan hormon, pikirku. Ia memang teman yang menyenangkan, namun mungkin bisa juga kekasih yang menceriakan, sisi otakku yang lain angkat bicara.

"Kau yakin mencintaiku?"

"Yakin."

"Rumus kimianya berbeda dengan pertemanan."

"Memangnya rumusnya seperti apa? Aku lebih suka fisika. Mekanis saja."

Ia mengerling. Itu bukan kerlingan teman. Sesungguhnya ini pengkhianatan. Ia telah punya kekasih di luar kota sana. Seorang lelaki yang yang ia beri cinta pada pandang pertama. Ia tidak bisa memutuskannya. Cinta pada pandang pertama adalah tanda-tanda cinta yang sesungguhnya. Jelasnya, aku menjadi lelaki nomor dua. Pengkhianatan tidak selamanya menjadi bencana seperti di film-film itu, pikirku. Lagi pula, aku suka cerita dengan akhir bahagia.

Aku seperti lelaki yang memuja sesuatu yang hampa dan aku tidak menganggapnya sia-sia. Lagi pula dugaanku memang benar, ia kekasih yang menceriakan. Hari-hari berjalan dengan jalan cerita yang sudah salin rupa. Lebih indah dari semula. Kecuali, tentu saja, ketika kekasih luar kotanya itu sedang berkunjung.

Kadang aku terpikirkan mendatangi kekasihnya yang satu itu dan menyodorkan suatu tawaran. Aku menjadi sang kekasih dan dia yang menjadi teman. Ia yang bertugas mendengar keluh kesahnya, dan aku yang akan bercinta di ujung hidupnya. Akan tetapi nyaliku tidak seperkasa itu.

Hal ini malah mengingatkanku pada apa yang dialaminya. Lelaki itu mungkin menyimpan rindunya rapat-rapat. Dibungkusnya di bawah bantal dan memeluknya di pembaringan selagi tidur serta mimpi bercinta habis-habisan. Lalu, apakah ia masih akan bisa memeluk kencang rindu itu jika yang terjadi adalah pengkhianatan?

Di sini, rindunya itu berjejal dengan rinduku. Rindu yang juga kubungkus di bawah bantal. Kadang kupintal lembar demi lembar seperti kerinduan seorang teman. Lain waktu kulipat rapi menjadi bingkisan roman picisan dari kisah pengkhianatan. Hidupku cukup sentosa dengan batas bias kekasih dan teman ini. Pintalan dan lipatan.

Cinta memberi aku sayap untuk terbang, berwisata di anjungan awan, tertawa riang di pucuk menara, dan anjangsana keliling kota. Tapi sayap itu kadang hanya bisa kepak-kepak di bumi. Kepak-kepak ayam yang hanya bisa menerbangkan debu. Seperti juga ayam, aku mengalami rabun senja. Tidak buta seutuhnya. Rabun cuma mengaburkan.

Suatu hari, ketika rabunku kumat, aku menemukan dia sedang menangis. Ia indah saat meneteskan air mata. Keindahan rinai gerimis yang tepat berada di pelukan. Tak perlu mantel karena aku suka basahnya.

"Kau pikir mudah punya dua kekasih?"

"Aku justru selalu berpikir kau lah yang akan bermasalah. Aku tak bisa seperti kau. Dadaku tak cukup untuk menampung dua perasaan yang mendebarkan dalam satu masa sekaligus."

"Setiap bersama kau, aku ingat dia. Setiap bersama dia, aku ingat kau."

"Lalu bagaimana?"

Tak ada aturan baku yang berlaku saat berhubungan dengan perasaan. Ketika aku mengirim kabar perpisahan, itu pun mendatangkan tangis. Aku pikir perpisahan akan memudahkan, dan tidak membuatku melihat airmata lagi. H2O terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Itu rumus kimianya. Tapi aku lupa, ia pernah berkata bahwa rumus kimianya berbeda. Ini juga bukan pelajaran aritmatika atau aljabar. Dari sisi geometri, sudut berbeda menghasilkan lintasan koordinat beriring yang tak sama. Ia menangis lagi dan tak memiliki rumus yang sama dengan pembicaraan yang dulu. Ia menangis dengan bahasa geometri.

"Mencintai dan menjaga hubungan itu berbeda."

Aku diam. Aku merasa tak berhak angkat bicara. Diam yang emas. Ia tersenyum seperti mendapat sebongkah emas. Aku ingin dia bahagia dan bisa tersenyum seperti itu selamanya. Kata "selamanya" menjadi kata favorit orang yang sedang jatuh cinta, bukan? Kata ini sejajar dengan kata-kata basi lain yang sering digunakan pembuat lirik lagu populer. Kata-kata yang sejamak dengan senyum dan tidak ada seorang pun di dunia yang bisa tersenyum selamanya, bahkan orang gila sekali pun. Jadi apa gunanya selamanya jika kemudian menyadari apa yang terjadi ternyata fana?

"Bukankah kau akan lebih mudah? Kau cukup mencintai satu orang. Kau tak perlu lagi menangis."

"Andai semudah itu. Bagaimana jika kau bisa memilih, pernah merasakan yang enak lalu tidak sama sekali atau tidak pernah merasakan enak sama sekali?"

Sebenarnya aku tak suka dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sayangnya, ia suka melontarkannya dan aku tidak memiliki keberanian menggantung pertanyaan tanpa jawaban.

"Tidak merasa enak sama sekali, karena kepahitan akan terasa manis jika belum mengenal apa rasa manis yang sesungguhnya."

"Akan tetapi kenyataan tak seperti itu."

Ini permainan logika sederhana gaya Aristoteles, sementara dia lebih suka menempuh lajur lain. Ada wilayah lain yang mengesampingkan logika dan memberi kesempatan detak jantung untuk mengambil keputusan. Ia mendekonstruksi senyumnya. Ia mungkin sedang memilah dunia menjadi dua. Yang satu absolut, yang satu maya. Kehidupan nyata dan tiruannya. Mimesis, kata Plato.

"Bagaimana jika kita sepakat untuk putus tiap hari?"

"Maksudmu?"

"Ya, kita putus tiap hari."

"Aku tak paham."

"Saat kau pulang nanti, kita putus. Tapi saat ketemu lagi, kita masih bersama."

Ide aneh tapi kuterima juga. Aku menyukai suasana ketika berdebar-debar itu dan sebenarnya masih tak rela membuangnya begitu saja. Bisa kutulis 100 lembar puisi cengeng jika itu sedang terjadi. Puisi dengan diksi yang itu-itu juga, penuh kata-kata basi. Kuulang dan kuulang. Dibaca berulang kali. Berdebar lagi. Ketika waktu dihitung dengan debar jantung, jarum jam tak berguna sama sekali. Dan aku percaya, ketika Einstein menemukan teori relativitas waktu, ia sedang jatuh cinta. Lalu ia menautkannya dengan kumpulan rumus-rumus. Pemuja fisika tidak akan sudi bertaruh emosi tanpa pembenaran logika yang pasti.

Kami masih sering bertemu. Entah bagi dia, tapi tak ada bedanya dengan semula. Saat aku pulang, tidak ada perasaan bahwa itu sebuah perpisahan. Aku bersenandung riang sepanjang jalan pulang. Hitam malam justru memperjelas otakku yang merah jambu. Malam bukan lubang hitam yang bisa menyerap segalanya. Sampai suatu malam aku bertemu kekasihnya yang dari luar kota.

Itu bukan perjumpaan dalam arti nyata. Ia datang di mimpiku. Kami berbincang tentang perempuan yang menyenangkan itu. Ia bicara dengan datar, seperti memainkan gitar dengan chord yang selalu sama. Aku sadar mengapa ia bisa menjadi kekasih yang sesungguhnya. Ia bisa mengubah dirinya menjadi halusinasi. Hal ini mengingatkan aku pada perempuan itu saat menceritakan tentang dia. Matanya akan berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan. Ia akan bercerita, bercerita, dan terus bercerita.

Cerita-cerita yang menyiksa, yang membuatku kembali menjadi teman biasa. Ia memang teman yang menyenangkan, tapi tidak saat seperti ini. Saat aku tak rabun sama sekali.

Matanya penuh permainan, dan mataku seperti dipermainkan. Dari lagu bertempo adagio menjadi alegro. Ia bisa merabunkan sekaligus membelalakkan mataku. Akan tetapi semua terus sama. Tidak ada jaring laba-laba yang kasat mata oleh mangsanya. Tapi dia bukan laba-laba dan aku juga bukan nyamuk.

"Kau sadar tidak?"

Aku menatap sekelilingku. Di kafe ini tidak ada yang aneh. Kami duduk di sebelah meja pesohor sastra. Itu juga bukan hal yang aneh untuk disadari. Kafe merupakan tempat lumrah para pencari inspirasi, atau kencan seperti ini.

"Apa?" Aku menyerah mencari tahu.

"Dulu kita juga duduk di sini."

Ia tersenyum dan matanya berisi permainan. Aku tersenyum dan menyadari kami memesan menu yang sama seperti dulu. Aku juga semakin menyadari bahwa kami, aku dan dia, adalah mangsa dari jaring laba-laba. Sejauh ini, laba-laba itu belum datang menikmati santapannya. ***


cerpen peti ayah dan tiga puluh satu tahun setelah itu

Peti Ayah dan Tiga Puluh Satu Tahun Setelah Itu

Cerpen Farizal Sikumbang Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 402 kali

Tiga puluh satu tahun silam, dari tahun kutulis cerita ini, aku memang ingat, tanpa sengaja, ayah menemukan sebuah peti besi seukuran kardus mi instan. Kala itu ayah menggali tanah di belakang rumah dengan hasrat menanam sebatang pohon pisang batu. Ketika galian telah sedalam betis ayah, kami mendengar bunyi berdentang keras ketika beliau mengayunkan cangkulnya. Dengan penuh heran ayah mengurik tanah berlubang itu dengan sebelah tangannya. Ayah merasakan sebuah benda keras. Di akhir cerita, ayah berhasil mengangkat peti dari tanah yang digalinya itu. Peti besi itu telah berkarat, termasuk gemboknya. Kalau tak salah, usiaku kala itu sebelas tahun. Aku menemani ayah menanam batang pisang batu itu.

Tapi ayah tak membolehkan aku melihat di saat beliau membukanya. Hanya beberapa kata yang terlontar dari mulut ayah, yang kuingat, ”Astaga. Tak salah. Benar-benar tak punya perasaan,” demikian kata ayah dengan muka merah dan pucat.

”Jangan kau beri tahukan penemuan ini pada ibumu. Berjanjilah kau buyung? Kau maukan?” kata ayah lagi.

”Tapi apa isinya, Ayah?”

”Tak bisa Ayah jelaskan. Berjanjilah. Berjanjilah!” Ayah mengguncang-guncang bahuku.

Dengan cemas, aku mengangguk.

”Iya. Iya,” jawabku gugup.

Ayah lalu menggendong peti itu jauh ke luar pekarangan kami. Sekejap tubuhnya lalu hilang di balik rimbun pohon-pohon.

Sebelum kutuntaskan isi cerita ini, baiklah, akan aku ceritakan dulu riwayat keluarga kami. Ibu meninggal lima tahun yang lalu akibat sakit di perutnya yang tak kunjung usai selama tiga hari. Sedangkan ayah meninggal dua minggu yang lalu dengan tenang di tempat tidurnya. Aku memiliki seorang kakak laki-laki, yang kelak menjadi masalah dalam cerita ini. Namanya Samsudin. Usianya terpaut empat tahun. Tapi sebenarnya, sebelum Samsudin, sebenarnya aku punya kakak perempuan. Namun sayang, di saat usianya baru sepuluh bulan, dia meninggal karena muntah-muntah. Setelah meninggal, ayah dan ibu baru tahu bahwa dia kena palasik. Ayah dan ibu lalu menyesali kematian kakak perempuanku itu sepanjang hari. Tapi yang sangat terpukul atas kematian kakak perempuanku itu adalah ayah.

Sampai beliau meninggal, ayah masih sering menyebut nama kakak perempuanku itu.

Aku pun menyesali kematian kakak perempuanku itu. Sebab, dalam adat kami, harta pusaka sebenarnya dicurahkan buat yang perempuan. Dan ayah mewarisi kami sawah dan ladang yang berjumlah sepuluh petak. Tapi, bukan, bukan sawah ayah sebenarnya. Sawah itu milik ibu yang diperolehnya dari pembagian harta dari pihak nenek. Ayah hanya menggarapnya karena tak punya pekerjaan lain.

Sebenarnya, tak pernah terlintas di ingatanku kembali akan peristiwa tiga puluh satu tahun yang lampau itu, yakni ketika ayah menemukan sebuah peti sebesar mi instan itu. Tapi, kakakku, Samsudin, satu minggu setelah kepergian ayah, mempertanyakan soal peti itu. Mulanya aku heran, bagaimana ia tahu?

Oh ya, sebelum kulanjutkan cerita ini, ada baiknya sedikit kujelaskan dulu perihal kakak laki-lakiku itu. Dia kakakku satu-satunya. Kata ayah, dia laki-laki pendosa. Sebab, sewaktu sekolah es-em-a, kerjanya suka menyabung ayam, main domino, serta suka pulang tengah malam. Dia tidak suka dinasihati. Setelah menikah, ia bekerja menjadi calo tiket bus angkutan kota. Sekarang anaknya sudah lima. Tetapi, kata ayah, bulan-bulan belakangan sebelum beliau meninggal, ia rajin minta uang pada ayah. Kata ayah lagi, yang membuat aku kaget, dan tak pernah kusangka, ia telah menjadi anggota caleg sebuah partai.

”Semakin hari aku mengkhawatirkan keadaannya. Aku takut, jika aku meninggal, akan dijualnya harta ini,” kata ayah.

”Berdoa sajalah, Yah. Mana tahu ia benar-benar dapat kursi di anggota dewan. Itukan juga membuat kita senang, dan otomatis hidupnya akan sejahtera.”

”Tapi setiap ia kemari. Kerjanya minta uang saja. Pusing kepala ayah dibuatnya. Katanya untuk upah poster fotonya biar bisa dipajang di sepanjang jalan. Buat kalender yang ada fotonya untuk dibagikan pada orang sekampung. Stiker. Dan entah apalagi. Aku heran, kenapa partai itu mau menjadikan ia anggota caleg. Apa tak ada orang lain.”

”Entahlah Yah. Aku tak mengerti soal itu. Aku bukan orang partai. Politik pun aku tak mengerti.”

”Ya, ya. Kau memang pantas jadi guru ngaji saja. Politik itu rumit. Ayah harap kau tak mengikuti jejak kakakmu itu. Anak celaka.”

Mungkin memang benar kata ayah bahwa politik itu memang rumit, seperti kakakku itu yang tiba-tiba saja seperti orang sakit. Betapa tidak, empat hari setelah kepergian ayah, tanpa minta persetujuan dariku, ia menjual lima petak sawah peninggalan orangtua kami.

”Mengapa Uda tak pernah minta persetujuan dariku,” tanyaku marah usai ia beritahu soal itu.

”Aku rasa itu tak perlu Pak Guru Ngaji,” jawabnya tersenyum seperti mengejek. ”Yang lima petak itu bagianku. Dan lima petak yang masih tersisa itu kini milikmu. Adil bukan?”

”Bukan soal itu. Ini masalah harta pusaka yang dijual.”

”Hei buyung,” katanya meninggi. ”Pasang otakmu. Itu lebih baik dijual. Pikirkan olehmu, apa kita punya saudara perempuan, he. Kalau tidak dijual, kelak jika kita berdua telah mati, siapa yang akan mewarisinya. Anak-anak kita? Ah, itu tak mungkin. Orang sesuku kita tentu akan marah. Kalau tidak dijual tentu anak etek atau cucunya yang nanti mengambilnya. Padahal, mereka kan sudah ada pembagian dari etek. Kau mengerti maksudku?”

Mendengar penjelasan kakakku tentang itu, aku tak bisa membalasnya. Kalau dipikir, memang begitulah jadinya. Harta pusaka akan menjadi petaka bila tak punya saudara perempuan di negeri Minang ini.

Dan seperti yang telah kujelaskan tadi, satu minggu setelah kepergian ayah, kakak laki-lakiku itu mendatangiku lagi. Ia menanyakan soal peti itu.

”Jadi, di mana peti itu. Kau harus membagi dua denganku. Aku tahu ayah teramat sayang padamu hingga tentang peti itu aku tak diberitahunya.”

”Peti? Peti apa,” tanyaku heran pada mulanya.

”Jangan kau berlagak tak tahu. Kau ingin menguasai sendiri ya. Kau jangan berdusta. Kau tahu sekarang aku butuh uang untuk kampanye. Aku ini anggota caleg. Aku butuh biaya besar.”

”Uda kan baru saja menjual tanah? Apa uang itu sudah habis.”

”Hei uang lima puluh juta itu mana cukup. Aku harus memberi uang untuk tim suksesku. Biaya sumbangan buat orang sekampung. Belum ini dan itu. Kuharap kau pahamlah.”

”Tapi, aku tak tahu soal peti itu.”

”Hei, apa kujual saja rumah peninggalan pusaka itu, ha. Biar habis semuanya. Biar peti itu buatmu dan rumah itu buatku.”

”Tunggu dulu,” kataku. ”Tolong Uda jelaskan, peti apa yang Uda maksud.”

”Kau ingat tiga puluh satu tahun yang lalu? Saat kau dan ayah menemukan sebuah peti sebesar kardus mi instan di belakang rumah?”

”Tiga puluh satu tahun yang lalu?”

Aku mengerutkan kening.

”Ya, ya. Aku mulai ingat. Dari mana Uda tahu?”

”Aku melihat ayah melarikan peti itu. Ia bersamamu kan?”

”Lalu, untuk apa Uda tanyakan tentang peti itu?”

”Jangan berlagak tak tahu. Tentu peti itu banyak emasnyakan?”

”Emas?”

”Ya. Bukankah orang tua-tua dulu suka menyimpan emasnya dalam peti?”

”Tapi aku tak tahu soal peti itu,” kataku.

Hari itu Uda Samsudin memarahiku. Ia terus berulang kali menanyakan soal peti itu di rumahku. Dan hari itu juga, setelah tiga puluh satu tahun lamanya, aku harus mengingat kembali peristiwa itu.

Dengan rasa penasaran, besok paginya aku mendatangi rumah kami. Rumah pusaka peninggalan ayah dan ibu. Aku penasaran tentang peti itu. Sungguh, aku tak tahu di mana ayah menyimpannya. Apakah ayah menanamnya kembali atau disimpannya di tempat lain? Aku memang tidak tahu pasti.

Sesampai di rumah, aku memeriksa tempat-tempat penyimpanan barang ayah. Dari almari, tempat penyimpanan foto serta barang-barang kesukaan ayah. Dari semua itu, aku tidak menemukan petunjuk tentang peti itu. Aku putus asa.

Tapi sewaktu aku memeriksa di bawah tempat tidur ayah, aku menemukan buku agenda. Usianya mungkin sudah bertahun-tahun. Kertasnya sudah agak menguning. Isinya pertama aku menemukan catatan tentang uang pengeluaran ayah. Uang beli semen, pasir, belanja pupuk. Dan, entah kali ke berapanya aku membolak-balik isi agenda itu, aku akhirnya menemukan petunjuk tentang peti itu. Begini isinya:

Sampai usiaku lima puluh tahun, aku masih sering meratapi kematian anak perempuanku itu. Aku sangat menyayanginya. Mungkin karena aku tak punya saudara perempuan. Aku telah menyiapkan barang-barang permainan buatnya, juga baju yang indah. Tapi, Tuhan mengambilnya. Aku lalu mengemasi barang-barang itu dalam sebuah peti. Biar barang itu akan abadi bersamanya. Tapi, istriku memang keterlaluan. Ia membuang peti itu entah di mana. Ia tidak memberitahuku di mana dibuangnya. Tapi suatu hari aku menemukannya, ia menguburnya di belakang rumah rupanya.

Aku terus membolak-balik isi buku agenda itu. Tapi aku tak menemukan kalimat lain tentang peti itu kecuali perihal tentang surat-surat uang masuk dan uang pengeluaran ayah.

Dengan tersenyum, aku lalu melipat buku agenda ayah itu. Aku berjanji, siang nanti aku akan menemui Uda Samsudin di rumah istrinya. Ya, aku akan memberikan agenda itu padanya. Biar ia tahu tak ada emas di dalamnya. ***

Padang 2009

Keterangan

1. etek > adik ibu

2. palasik > penyakit yang biasanya menyerang anak-anak yang diakibatkan oleh orang tertentu dengan cara mengisap darah anak-anak secara tidak langsung

3. caleg > calon anggota legislatif