Selasa, 28 April 2009

cerpen caleg pilihan

Caleg Pilihan

Cerpen Imam Nawawi Silakan Simak!
Dimuat di Suara Karya Silakan Kunjungi Situsnya! 04/04/2009 Telah Disimak 171 kali

Aku menyesal menghabiskan sisa umur di bangku kuliah sampai pendidikan S3. Sudah yang ke tujuh kalinya mayat di temukan dengan kepala terpenggal di aliran arus sugai. Namun tetap saja tidak bisa bantu menghentikan peristiwa kematian beruntun itu dengan bekal pengetahuan yang aku miliki. Mungkin sebagai adat istiadat, aku maklumi saja jika para lelaki di tempatku beradu kekuatan dan kejantanan lantaran istri mereka selingkuh dengan orang lain.

Wajar. Sehingga pertumpahan darah harus digelar untuk menunjukkan pada tetangga-tetangga dan keluarganya bahwa dirinya masih memiliki martabat dan pantas disebut sumai yang setia. Tapi ini persoalannya sangat berbeda. Setiap lima tahun sekali, musim kematian datang bertandang hanya demi saling merebut kekuasaan dan pendukung.

Pagi itu sehabis mengantar si kecil ke sekolah, aku menikung di pertigaan jalan di perbatasan desa. Rumah Sanhaji kira-kira lima belas meter lagi dari pinggi jalan raya. Jalan yang dibangun penjajah Belanda dulu dan sampai saat ini pemerintah belum sempat memperbaiki bagian-bagiannya yang rusak parah. Jalan raya yang menghubungkan kota dan tempatku itu tak ubahnya jalan yang aku temukan jika hendak naik gunung. Di sana sini terdapat benjolan batu dan lubang mendalam sehingga pengendara motor dan mobil angkutan umum terpaksa meluangkan waktunya berjam-jam untuk melintas. Mungkin ada janji perbaikan tapi ya sebatas janji, apalagi di musim kampanye seperti saat ini. Isu perbaikan jalan umum sangat berpotensi sebagai pemikat hati rakyat. Aku terus saja menyusuri jalan dengan menurunkan kecepatan mesin motor. Rumah Sanhaji sudah kelihatan dari jauh. "Semoga dia tidak keras kepala lagi!" Pikirku ketika itu.

Aku memasuki beranda rumahnya dan dipersilahkan duduk. Tiba-tiba tak lama kemudian, dari balik pintu keluar perempuan paruh baya membawa nampan berisi cangkir kopi hangat. Ada perasaan lain ketika itu. Hatiku bertanya-tanya melihat Sanhaji dan istrinya yang tiba-tiba saja bersikap baik menyambut keatanganku yang jelas-jelas hanya ingin mengulangi tema bincang-bincang santai seputar langkah-langkah wakil-wakil rakyat dalam mengelabui dan mempermainkan rakyat, khususnya ketika sudah memasuki waktu-waktu kampanye. Sebab kemungkinannya, apa yang dijanjikan mereka saat ini hanya merupakan pengulangan sejarah masa lalu dimana janji tidak pernah ditepati.

"Dek, ayo seduh kopinya," Sanhaji mempersilahkanku. Dia yang lebih tua dariku atau sebanding dengan umur ayahku ,memanggilku dengan sebutan adik.

"Terimakasih" balasku sambil menganggukkan kepala dan tersenyum sedikit. Selain aku menghormatinya sebagai kiai di tempatku, sejak kecil Sanhaji sudah banyak berkorban dan membantu pendidikanku. Dia sering kali memberi ayah tambahan upah sehabis menyetor uang hasil penjualan tangkapan ikan dari hasil melautnya. Ayah sebagai pekerja yang hanya menyewa kapal penangkap ikan pada Sanhaji, merasa bangga dan hidup semakin akrab dengan dia. Dengan upah tambahan itu, Sanhaji menyuruh ayah untuk membelikan buku dan keperluan lain sekolahku. Tapi ternyata tidak hanya dirasa oleh ayah. Kedermawanan Sanhaji dikenal oleh hampir semua orang di tempatku. Bantuan dana terus mengalir kepada masyarakat berwujud sesuai keperluan mereka. Itulah mengapa aku sebagai seorang anak muda dan bagian dari orang-orang di tempatku begitu hormat pada Sanhaji sebagai kiai, juragan kapal, orang dermawan, dan lainnya.

"Ada keperluan apa ya, Dek..?" Tanya Sanhaji sambil menyeruput cangkir kopinya.

"Ini, pak kiai," ucapku lalu diam sejenak. "Anak buah Matroni sudah semakin menggila," lanjutku.

Sanhaji diam menganguk-angguk. Dia lebih paham dengan apa yang terjadi daripadaku. Matroni sebagai rival terkuat dari Madun memiliki kaki tangan gelap yang tak segan-segan menumpahkan darah dengan musuhnya. Matroni yang dulunya dikenal sebagai gembong penjahat kampong, namun lulus sensor dari daftar hitam kepolisian, pada musim pemilihan kali ini direkrut oleh sebagian partai untuk diusung sebagai caleg peserta pemilu, karena dipandang banyak pendukungnya sekaligus memiliki kekuatan yang ditakuti orang banyak. Dengan ancaman kekerasan dan semacamnya, Matroni diharap mendulang suara sebanyak mungkin demi pemenangan partai.

Madun juga demikian. Sebagai sosok yang berpendidikan dan sempat mengenyam dunia pendidikan kampus, Madun tidak ingin kalah saingan dengan Matroni. Pembacaannya yang kritis terhadap persoalan politik dan strategi pemenangan, khususnya di daerahnya sendiri yang jarang sekali generasi mudanya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, Madun putra saudagar kaya Haji Nawawi menggunakan pendekatan manusia baik hati. Misalnya, ketika ada orang yang meninggal dia memberi sumbangan dana besar yang tak penah terjadi sebelumnya, pembangunan sekolah madrasah dan masjid sebulan yang lalu separuh dana adalah sumbangan dari Madun dan ayahnya, bahkan jalan raya yang rusak itu sebagian kecil yang melintang di tengah-tengah desanya telah diperbaiki oleh Madun. Tidak hanya itu. Madun telah memberikan masyarakat bibit pohon untuk ditanami bersama. Pembangunan stasiun televisi satu-satunya di pulau ini juga atas prakarsa Madun.

"Dek, sebagai tokoh masyarakat apa menurutmu yang harus aku lakukan?!" Tanya Sanhaji, memecah keheningan setelah lama diam mendengar penuturanku tentang anak buah Martroni. Aku diam saja. Aku yakin kiai Sanhaji punya pandangan lain, dia hanya ingin mengujiku.

"Persoalannya seperti ini, Mam," lanjut Sanhaji sambil menyebutkan namaku. "Ketika banyak orang-orang datang ke rumah, mereka bertanya tentang caleg yang menjadi pilihanku. Aku harus menjawab apa pada mereka?! Kalalu aku menjelaskan pada mereka begini dan begitu sebagai mana yang kamu jelaskan padaku, ya mereka tidak akan paham. Mereka hanya paham kapan gelombang harus dihindari, kapan angin laut hanya menggertak dan tak mungkin terjadi badai, dan lainnya seputar laut. Aku tidak tahu apa yang harus aku jawabkan pada pertanyaan mereka!"

Aku terdiam sejenak mendengar ungkapan perasaan Kiai Sanhaji. Aku baru sadar mengapa dia sampai detik ini selalu menyuarakan rakyat dari atas sejadah di rumahnya untuk memilih orang yang telah banyak membuat kita berhutang budi padanya. Isyarat untuk memilih Madun dan hati-hati dengan Matroni. Memang antara Madun dan Matroni adalah calon-calon paling berpengaruh di daerah pemilihan ini. Ketika Kiai Sanhaji bertanya apa yang harus dia lakukan menghadapi pertanyaan orang banyak siapa yang akan dipilih nanti, aku sendiri semakin kebingungan. Pikiranku tidak berfungsi sama sekali ketika itu. Berbagai pertimbangan memadati benakku. Masyarakat yang memang tidak tahu banyak mengenai permainan buruk politik, Madun yang telah banyak berjasa pada orang banyak walaupun menurutku itu juga termasuk politik uang. Hanya saja distribusinya melalui jalur nyata dan dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

"Siapa yang harus mereka pilih? Matroni? Tidak mungkin! Caleg lain yang sama sekali tidak berperan dan tidak memberi manfaat, bahkan hanya mau menyogok ketika mendekati masa-masa pemilihan? Oh, sangat tidak mungkin dipilih! Lalu siapa?!!" pikiranku bingung sendiri menjawab pertanyaan kiai Sanhaji. "Ataukah Madun, Pemuda berpredikat serjana muda, putra saudagar kaya yang berperan aktif sejak setahun yang lalu?! Ada kemungkinan!" batinku terus saja bergolak untuk mempertahankan idealisme. Aku yakin, politisi yang bermain-main dengan politik uang akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari. Siapa pun orangnya.

"Tolong bantu aku, Dek. Aku punya kekhawatiran seperti dirimu. Semoga saja Tuhan tidak menghukumku diahkirat nanti karena mendorong orang memilih yang salah!"

"Terus apa pendapatmu tentang golput,Dek?!"

Aku semakin bisu dihantam pertanyaan kiai Sanhaji yang terakhir. Sesuatu yang aku tidak sukai. Tetapi aku sendiri tidak dapat bicara. Semua teoriku tumpul berhadapan dengan kenyataan. Yang tersisa hanya tinggal harapan semoga mereka yang berjanji baik jika terpilih nanti, dan merek yang sedah banyak berkorban demi kesejahteraan rakyat dengan dana besar dari ayahnya sejak setahun lalu, seperti yang telah digagas oleh Madun. Semoga mereka tetap berhati mulia ketika terpilih nanti.

Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan dari kiai sanhaji tentang pendapatku mengenani golput, beberapa gadis santri di pesantren kiai Sanhaji masuk ke tempat kami berdua membawakan hidangan.

"O ya, Dek. Makanan sudah datang. Mari kita sarapan pagi," pinta Beliau.

"Anak kelas berapa sekarang, mam,"lanjutnya mengalihkan perbincangan politik.

"Kelas empat SD," jawabku malas.

Kami berdua berbincang-bincang mengenai persoalan lain. Sejak saat itu aku mengurungkan niat menanyakan kiai Sanhaji yang selalu mendorong masyarakat memilih Madun. Prasangkaku bahwa pak kiai telah terbujuk oleh dana bantuan Madun ke pesantren yang diasuhnya, ternyata salah. Andai saja aku di posisinya sekarang, mungkin saja aku akan menjawab pertanyaan masyarakat siapa yang menjadi pilihanku atau siapa yang harus dipilih, mungkin hanya satu kata yang terucap: Madun.

Ketika kami sedang asyik-asyiknya bercengkrama dengan Sanhaji sambil mengunyah kripik singkong, tiba-tiba dua orang nyelonong ke tempat kami. Pak Sobari dan Rahwini. Dengan wajah berkeringat, mereka terengah-engah mengatakan bahwa lima belas orang terbunuh di pinggir kali di belakang pasar Geppora. Pembunuhan massal yang dilakukan pendukung Madun terhadap pembunuh bayaran Matroni menghiasi pagi itu. Alasan mereka, orang-orang bayaran Matroni tertangkap basah memaksa sebagian orang di pasar itu untuk memilihi Matroni sambil menyodorkan uang suap. Sementara para pendukung Madun tidak terima perlakuan semacam itu. Pertumapahan darah tidak dapat dihindarai lagi. Demikian cerita kedua orang itu. Aku dan kiai Sanhaji hanya terdiam ngeri mendengar cerita mereka berdua.

"Tapi, pak kiai, tolong kami". Serentak ucap pak Sobari dan Rahwini. Kami yang mendengarnya menangkap rasa ketakutan yang begitu besar menyelimuti wajah mereka.

"Ketua pembunuh bayaran yang ditengarai suruhan Matroni itu sempat ada yang selamat. Dia berjanji bahwa kekalahannya bukan lagi persoalan kekalahan politik, melainkan kekalahan kelompoknya. Permusuhan bukan lagi hanya dengan pendukung Madun, tapi dengan masyarakat di sini" ***