Selasa, 28 April 2009

cerpen membunuh perempuan pemetik harpa

Membunuh Perempuan Pemetik Harpa

Cerpen Rama Dira J Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 171 kali

Aku mulai mendengar alunan denting harpa yang dimaksudkan oleh orang yang akan membayarku. "Kau akan mudah menemukannya. Ia selalu memainkan harpa di pagi buta" katanya.

"Sebelum matahari terbit, bergegaslah ke vila asal denting harpa itu. Saat itu para pelayan belum datang dari rumah mereka di sekitar kaki bukit. Kau akan leluasa membunuhnya."

Demikianlah pesan singkat yang diberikan oleh lelaki bercucu itu. Ia memintaku untuk membunuh gendaknya setelah berkeras hati minta dinikahi. Sesungguhnya, ia tidak pernah benar- benar serius dengan gadis itu. Ia sadar, perselingkuhannya itu bisa menjadi sumber kehancuran. Para musuh politiknya bisa menamatkan kariernya.

Bahkan, teman-temannya separtai pun (mereka yang iri dengan kedudukannya saat ini) akan bisa bermanuver menurunkannya sebagai Ketua Komisi di Senat, jika sampai mengetahui perselingkuhan itu. Buruknya lagi, ia tidak akan terpilih kembali menjadi anggota dewan pada pemilu yang sebentar lagi digelar. Kini, ia yakin, hanya dengan jalan membunuh gendaknya itulah karier politik yang sudah dibangunnya dengan susah payah sejak muda, bisa ia selamatkan.

Setelah motor ojek itu berderum meninggalkanku, aku langsung bergegas menuju ke kaki bukit, mengarah ke asal denting harpa yang terus mengalir. Aku mempercepat langkah, terus berjalan dengan tas ransel di pundak yang berisi peralatan fotografi, sepucuk pistol dengan peredam, sebilah pisau komando, sebungkus kecil serbuk arsenik, dan sepasang sarung tangan tipis berbahan karet.

Peralatan-peralatan inilah yang sering kugunakan dalam menjalankan aksi pembunuhan. Aku tak tahu mana yang akan kugunakan. Situasi dan keadaan menjelang ajal orang yang menjadi sasarankulah yang menentukan peralatan mana yang akan terpakai.

Jalan mendaki yang kulewati kini, lurus membentang. Di depan mataku, persis di kaki bukit, kulihat ada sebuah vila besar bergaya Eropa, yang seolah-olah mendadak muncul dari balik kabut. Denting harpa terdengar jelas dari arah vila itu, aku jadi tak ragu mengarah ke sana. Aku memencet bel. Denting harpa berhenti. Kemudian, muncul seorang perempuan cantik. Dari jauh, ia sudah tersenyum ramah menyambutku. Di balik pagar, ia langsung menyapa, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf mengganggu. Saya penasaran. Dari tadi, saya mendengar petikan harpa yang indah di sekitar sini. Saya ingin sekali berkenalan dengan pemetiknya. Apa benar berasal dari vila ini?"

"Ya..." jawabnya pelan.

"Andakah pemetiknya?"

"Ya..." Ia dengan senang hati mengajakku melintasi jalan kecil di samping vila untuk menuju ke taman belakang.

Taman itu adalah taman yang ditata sedemikian rupa, dimana tanaman-tanaman pangkasnya yang hijau seluruh, dibiarkan tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, membentengi jalan kecil yang melingkar-lingkar yang tak kuketahui dimana ujungnya.

Di bagian tengah taman itu ada sebuah spring bed yang besar dengan naungan fiberglass permanen yang terpasang di atasnya. Di atas ranjang itu terbaring sebuah harpa. Perempuan itu duduk di tepi ranjang sementara aku duduk di hadapannya, pada bangku batu. Aku berbohong padanya, mengaku sebagi Nino, fotografer dari sebuah majalah fotografi di Jakarta dan aku datang ke daerah Puncak ini untuk mengambil foto aktifitas pemetikan teh yang ada di kebun teh. Ia tak mungkin kuberitahu, jika sesungguhnya peralatan fotografi itu akan kugunakan untuk memotret tubuhnya yang sudah dingin menjadi mayat nanti.

"Jadi, Anda wartawan?" Ia menanyaiku dengan ekspresi penuh kecurigaan sambil menuangkan teh dari teko ke gelas kecil. Aku tak menjawabnya sebab, jika aku menjawab, percakapan akan semakin panjang dan waktuku akan terbuang percuma dan rencanaku pun tak akan tuntas. Langsung saja, ketika ia masih dalam posisi membelakangi, kucekik leher putihnya setelah sepasang tanganku mengenakan sarung tangan tipis berbahan plastik. Ia tidak memberikan perlawanan yang berarti. Cangkir teh di tangannya jatuh. Air panas membasahi sepatu ketsku. Aku tak pedulikan panas itu. Perlahan, ia kesulitan bernafas. Nafanya habis dan hanya dalam hitungan menit, nyawanya sudah melayang.

*

"Jadi, Anda wartawan?" Pertanyaan itu membangunkanku dari imajinasi sesaat tadi. Sepertinya, aku tak akan membunuhnya dengan cara seperti itu. Terlalu buruk untuk perempuan secantik ini.

Aku menyambut cangkir teh yang ia sodorkan dan berusaha mejawab : "Bukan! Saya hanya fotografer. Saya bukan wartawan." Mendengar itu, ia tersenyum lantas mulai bercerita kepadaku bahwa ia sangat takut bertemu dengan wartawan. Ketika kutanya mengapa, ia bilang dirinya merupakan bagian dari rahasia seseorang yang mempunyai kedudukan politis yang penting di negeri ini. "Dia Senator". Katanya lagi, jika sampai ada wartawan yang mengetahu rahasia mereka, maka tamatlah karir kekasihnya itu. Tanpa malu-malu ia memberikan pengakuan yang lebih jauh lagi kepadaku bahwa dia berstatus sebagai wanita simpanan sang Senator.

"Sudah tiga bulan ia tidak menandatangiku. Ia sibuk melawat ke luar negeri."

Aku hanya mengangguk tak begitu peduli. Ia kembali duduk di ranjang, meraih harpanya untuk kemudian ia petik, mengiringi acara minum teh kami. Dalam iringan harpa ia kembali bercerita, "Sebenarnya, aku tidak pernah mengira hidupku bersamanya akan seperti ini. Tinggal di vila besar, penuh dengan kemewahan, tapi dibiarkan sendirian." Ia berdiri, membawa harpanya, meninggalkan meja tehnya dan membelakangiku sambil memejam. Tidak kusiakan kesempatan itu.

Aku langsung bergegas menuju ke meja tehnya. Kutuangkan serbuk arsenik ke dalam gelas tehnya. Mungkin dengan cara inilah ia pantas mendapatkan kematian sebab sebagai perempuan cantik, ia tak pantas dibunuh dengan cara kekerasan. Aku langsung kembali ke tempat dudukku, setelah menuangkan arsenik itu, tentu tanpa sepengetahuannya.

Ia berhenti memetik harpa, kembali duduk di samping meja tehnya untuk menyeruput cangkir teh itu. Ia terus bercerita dan melanjutkan lagi petikan harpanya.

"Sampai sekarang ini, ia tidak berhenti membanjiriku dengan uang dan hadiah. Padahal, aku tak begitu butuh semua itu. Aku menginginkan status yang pasti. Aku ingin ia segera menikahiku. Jika aku mengatakan itu padanya, ia tak pernah menanggapinya dengan serius."

Sekitar lima belas menit kemudian, perempuan itu berhenti memetik harpanya, membaringkannya. Ia berusaha berbaring di atas spring bed tapi tidak bisa. Matanya membelalak tiba-tiba padaku. Ia memegang perutnya sambil menahan rasa sakit yang teramat. Muntahan bercampur darahpun tersemburat dari mulutnya. Ia berusaha menggapai-gapaiku, meminta tolong. Aku tak peduli. Tubuhnya kubiarkan terjerembab di tanah. Kulihat, ia tak lagi bergerak dan matanya terpejam dalam. Tampaknya arsenik yang kuberikan sudah bekerja dengan baik. Peralatan fotografi langsung kusiapkan untuk mengambil fotonya dalam kondisi sudah menjadi mayat itu.

*

"HARPA ini ia beli di Paris dua tahun yang lalu waktu ia ikut lawatan ke Perancis. Ini adalah jenis harpa yang kuno. Harganya mahal. Hanya ini pemberiannya yang kusuka. Harpa dari Paris.." Ia masih berpejam dan berbaring ketika melanjutkan ceritanya itu. Aku tersadarkan lagi dari angan sesaat untuk kedua kalinya. Kini, aku belum mendapatkan saat yang tepat untuk menuangkan serbuk arsenik itu ke dalam gelas tehnya.

Aku mendekat, mengambil harpa itu setelah ia menyodorkannya kepadaku. Kuperhatikan harpa itu memang sangat indah bentuknya. Dan sepertinya sudah berusia tua. Kukembalikan harpa itu kepadanya. Ia mulai lagi memetiknya. Aku kembali duduk, mengambil cangkir tehku, menghirupnya sedikit demi sedikit sambil terus menikmati denting yang cantik dari harpa itu.

Ia terus bercerita bahwa dulunya ia sempat kuliah di sekolah seni selama enam semester. Ia mengambil jurusan alat musik tradisional. Selama dua semester itulah ia sempat belajar memetik harpa. Namun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah mendapatkan tawaran menjadi sekretaris pribadi sang Senator dan diantara mereka kemudian berkembang hubungan percintaan.

Meski orang tuanya menentang keputusan itu, ia tidak peduli. Malahan ia melangkah lebih jauh lagi. Ia menerima saja untuk dijadikan sebagai gendak lelaki yang sudah beristri itu. Orang tuanya menjadi semakin murka mendengar kabar tersebut hingga kemudian membuat mereka tak lagi menganggapnya sebagai anak meski ia adalah satu- satunya anak mereka.

"Akhir-akhir ini, pikiranku terus tertuju pada mereka berdua. Aku menyesal..." Dari air matanya yang menitik, aku tahu ia sudah lama merasakan kesepian yang menyakitkan. Aku mencoba menenangkannya dengan bahasa tubuh yang penuh simpati. Lumayan, ia jadi berhenti bersedih.

Pada detik ini, sesuatu membuatku tersadar bahwa aku seharusnya tak boleh hanyut dalam buaian ceritanya yang berkelindan dengan waktu. Bagaimanapun, aku tak bisa membiarkan waktuku terbuang percuma. Aku harus segera membunuh dan membawa foto mayatnya untuk segera mendapatkan imbalan yang dijanjikan.

Aku tak lagi memikirkan cara yang pantas untuk membunuh perempuan cantik itu. Apapun caranya kini, ia harus segera mati. Namun, sebelum melakukan aksi, ia tiba-tiba menarik lenganku, "Ikuti aku", ajaknya. Kami berlari kecil menuju ke bagian dalam taman labirin itu. Anehnya, seperti terhipnotis, aku menurut saja ke mana ia membawaku.

Kami terus berlari masuk dan masuk dari satu petak ke petak lainnya. Membelok ke kiri, ke kanan, menemukan jalan buntu, kembali lagi ke arah semula, mencari jalan lagi, berjalan terus masuk, keluar, masuk, keluar, jalan buntu, kembali lagi, jalan lagi. Akupun tak lagi tahu di petak bagian mana letak segala senjata yang rencananya akan kugunakan untuk membunuhnya.

Untuk menenangkan napasnya yang sudah satu-satu, ia berhenti dan mengajakku duduk pada sebuah bangku batu. Aku segera mengajaknya untuk kembali ke petak tempat kami menikmati teh kami tadi dengan maksud agar aku bisa mengambil pistol dan segera menembaknya. Bukannya mengiyakan, ia malah tertawa dan dengan santainya berkata, "Aku tak tahu kita berada di petak yang mana dan aku tidak tahu jalan keluar." Aku panik, dia malah menarikku, memelukku, membawaku berguling-guling di atas rumput permadani yang ada dalam taman labirin itu.

*

DENGAN wajah yang dihiasi senyuman penuh kebahagiaan, ia berdiri di balik pagar untuk melepas kepergianku. Kami baru saja menemukan jalan keluar dari taman labirin itu ketika matahari sudah condong ke barat. Aku segera meninggalkannya, meninggalkan vila itu, meninggalkan taman labirin, meninggalkan sebuah peristiwa, untuk kembali lagi beberapa hari kemudian.

Sungguh, kecantikan perempuan pemetik harpa ini telah meruntuhkan naluriku untuk membunuhnya. Aku akan segera kembali ke kota, menemui sang kekasihnya bukan dengan maksud mengakui kegagalanku membunuh perempuan itu kali ini dan meminta tambahan waktu, tapi aku datang justru untuk mem- bunuhnya atas permintaan si perempuan pemetik harpa. ***