Selasa, 28 April 2009

cerpen layang-layang bertandan ungu

Layang-layang Bertandan Ungu

Cerpen Romi Zarman Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 04/05/2009 Telah Disimak 72 kali

LELAKI itu duduk di beranda, menghadap ke langit senja. Hening. Tak ada suara. Si gadis menengadahkan wajah. Seseorang melintas, keluar dari pintu rumah. Menuju pagar. Sejenak ia perhatikan, lalu ia memulai pembicaraan dengan pura-pura bertanya, "Itu kakakmu, ya?"

"Ya."

"Kok beda?" Si lelaki tak mengerti. Si gadis cepat menyadari, "Maksudku, warna kulit kalian kok beda?"

"Oh, mungkin karena ia sering di rumah. Sedang aku terus mengembara."

"Maksudmu?"

"Ya, itu. Kulitku terpanggang matahari. Sedang dia hanya menonton televisi."

"Ah, kalimatmu. Berbelit-belit. Langsung saja!"

Lelaki itu nampak heran. Adakah benar bahwa kalimatnya terlalu berbelit-belit? Tidakkah si gadis hanya ingin sedikit manja lalu pura-pura "meronta" walau sebenarnya sudah tahu ujung-pangkal dari kalimat itu? Ia perhatikan kakaknya, membuka pagar. Keluar rumah. Entah menuju ke mana. Dan tidakkah si gadis sudah tahu bahwa orang yang dimaksudnya itu adalah kakaknya?

Ah, ia memang ingin sedikit manja, dengan pura-pura "meronta". Sudah berapa lamakah ia mengenalnya? Adakah setahun, dua tahun? Ah, ia tak ingat. Yang jelas, ia merasa sudah lama akrab dengan si gadis. Dan sudah tahu pula bagaimana cara si gadis memulai pembicaraan untuk memecahkan kebisuan, seperti saat sekarang. Dan untuk memulainya, ia pun berkata, "Oh, mungkin karena layang-layang. Dulu aku gemar memainkannya. Tak peduli siang atau terik akan memanggang, makanya kulitku jadi hitam."

"Layang-layang?"

"Ya, layang-layang. Kurentang benang. Kunaikkan. Adakah kamu pernah merasakan?"

Si gadis nampak heran. Ah, alangkah tolol itu pertanyaan. Betapa pertanyaan itu muncul tanpa pernah dipikirkannya terlebih dahulu. Bukankah anak perempuan tak pernah main layang-layang, termasuk gadis yang ada di sebelahnya sekarang?

"Eh, jangan salah. Aku pernah main layang-layang. Jadi, aku tahu bagaimana rasanya."

Si lelaki tak percaya. Ia membuang muka, melempar jauh ke langit sana.

"Aku pernah memainkannya, bersama kakakku."

Ia tahu, si gadis ingin meyakinkannya. Tapi ia tetap tak percaya, "Tapi dari warna kulitmu, tak meyakinkanku. Kalau kau memang gemar, kulitmu pasti akan terpanggang terik matahari, seperti kulitku."

"Ya, aku memang tak gemar. Tapi aku pernah mencobanya, walau hanya sesekali."

Angin lalu. Si gadis terpaku. Ah, betapa ia telah berlaku angkuh. Bukankah si gadis bicara seperti itu karena ingin memecahkan kebisuan yang sejak tadi sudah melanda keberadaan mereka? Lalu, dengan merobah sedikit sikap, ia coba mengembalikan ke suasana semula, "Baiklah. Aku percaya."

"Nah, ceritakan tentang angin."

"Angin?" Lelaki itu balik bertanya. Dari manakah gadis itu tahu tentang keberadaan angin dalam permainan layang-layang? Adakah dari teman atau dari sejumlah buku bacaan? Atau jangan-jangan si gadis benar-benar pernah main layang-layang? Ah, mungkin saja. Ia pun mulai benar-benar percaya, "Layang-layang tanpa angin memang tak mungkin. Di satu sisi, ia tak akan bisa naik ke langit tinggi. Akan tetapi, bila angin terlalu kencang, maka layang-layang bisa putus di tangan."

"Bukankah itu hanya tergantung pada benang?"

"Benar. Tapi jika angin sedang kencang, maka tak akan tergantung pada kuatnya benang. Karena untuk mempertahankan, kau butuh kepiawaian."

"Maksudmu?"

"Bila angin sedang kencang, kau harus mengulur benang. Jangan coba-coba kau tahan." Si gadis kembali heran. Ia lanjutkan, "Kaubisa saja menahan, tapi tanganmu akan terluka oleh benang. Benangnya terbuat dari nilon, amat tajam."

"Amat tajam?"

"Ya, bisa membuat tanganmu luka."

"Adakah resiko lainnya?"

"Ada."

"Apa?"

"Layang-layangmu akan putus."

"Berarti semuanya tergantung angin?"

"Ya. Juga dibutuhkan sedikit pengetahuan dan kepiawaian."

"Maksudmu?"

"Kauharus tahu kapan angin akan berhembus kencang atau pelan."

"Caranya?"

"Kaucukup menandakan. Biasanya pagi atau sore hari adalah waktu yang tepat untuk bermain layang-layang. Anginnya tak terlalu kencang. Tapi jangan naikkan layang-layang ketika tengah hari datang."

"Kenapa?"

"Karena pada waktu itu biasanya angin berhembus kencang."

"Tidakkah di waktu pagi atau sore hari bisa saja angin datang dengan amat kencang? Atau tidakkah pada saat-saat seperti itu angin malah berhembus amat pelan sehingga kau tak bisa menaikkan layang-layang?"

"Memang. Tapi bagi sebagian orang yang benar-benar gemar, ia akan memeriksa keberadaan angin."

"Keberadaan angin?"

"Ya. Maksudku, angin terbagi dua. Ada yang kencang di bawah dan ada yang kencang di atas. Bila angin kencang di bawah, maka layang-layang akan susah untuk naik terlalu tinggi. Karena di atas, angin boleh dikatakan tak ada. Dan sebaliknya, bila angin kencang di atas, maka akan susah juga. Karena untuk naik awalnya saja, layang-layang membutuhkan angin. Sementara di bagian bawah, angin tak ada."

"Apa kau bisa melihatnya?"

"Tidak. Tapi aku bisa melihatnya melalui dahan yang bergoyang. Kau layangkanlah pandang ke batang pohon yang tinggi, seperti pohon kelapa, misalnya. Bila pelepahnya bergoyang, maka itu artinya angin sedang kencang di atas. Tapi bila kau lihat batang pohon atau dahan yang rendah sedang bergoyang, sedang pelepah kelapa tetap diam, maka itulah yang disebut angin kencang di bawah."

"Nah, baiknya yang mana? Angin kencang di bawah, atau di atas?"

"Kedua-keduanya. Kau tak perlu risau, karena semuanya tergantung pada kepiawaianmu."

"Bagaimana kalau hujan tiba-tiba datang?"

"Sebaiknya kau putus saja."

"Berarti harus siap untuk kehilangan?"

"Ya. Kalau kau putus sebelum hujan benar-benar tiba, maka kau bisa saja mengejarnya, lalu mendapatkannya kembali. Akan tetapi, sebaliknya, bila kau tetap bertahan, maka layang-layangmu akan turun bingkai?"

"Turun bingkai, apa itu?"

"Kertasnya akan basah, lalu layang-layangmu akan tinggal bingkai."

"Lantas apa bedanya?"

"Bila layang-layangmu turun bingkai, maka ia akan jatuh seperti sebilah buluh. Dan kau tak akan tahu dimana jatuhnya. Sebaliknya, bila kau putus layang-layang sebelum kertasnya benar-benar basah, maka layang-layangmu itu akan putus melayang-layang. Dan kau akan punya waktu untuk mengejarnya, asal kau tetap memperhatikan arah ke mana putusnya."

"Pernahkah kau mengalaminya?"

"Pernah. Waktu itu angin bertiup kencang. Mulanya hanya gerimis, lalu perlahan jadi hujan. Tahukah engkau berapa jarak dari gerimis ke hujan?" Ia menolehkan pandang. Si gadis menunggu jawaban, "Bahkan untuk menurunkan layang-layang aku tak sempat. Aku takut kertasnya basah dan hanya tinggal bingkai. Maka kulepas benang. Kukejar layang-layang. Untunglah ketika itu hari hujan. Kalau tidak, mungkin akan banyak yang mengejar dan aku akan kehilangan."

"Lalu layang-layangnya?" Si gadis bertanya tak sabar.

"Kutemukan di ujung gang, walau susah payah kukejar. Keesokan hari aku rekat lagi kertasnya. Kunaikkan lagi. Layang-layang bertandan ungu."

"Bertandan ungu, kenapa tak biru?"

"Karena aku suka warnanya. Bila layang-layang itu naik ke langit biru, maka aku gemar pada ungu tandannya. Ia berlenggak-lenggok. Kau bayangkanlah: langit biru, tandan ungu."

"Ooo, masa lalu."

"Masa lalu, maksudmu?"

"Yaaa, payah!" Si gadis meledek. Si lelaki tak mengerti, "Maksudku, layang-layang bertandan ungu itu kau buat di masa lalu. Bukankah layang-layang itu hanya ada di masa kanak-kanakmu?"

Ia merasa ada yang tak nyambung. Si gadis seperti mengelak dari jawaban. Ia hendak mengajukan pertanyaan. Tapi si gadis sudah buru-buru berkata, "Nah, apa layang-layangmu itu masih ada sampai sekarang?"

"Tidak. Waktu itu layang-layangku kembali putus."

"Kenapa?"

"Mungkin karena angin terlalu kencang."

"Tidakkah kau mengejarnya?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku tak akan mengejar layang-layang yang sudah putus di tangan."

"Tidakkah kau merasa kehilangan?"

"Mungkin."

"Mungkin?" Si gadis menatap heran. Pandangan lelaki itu tetap terpaku di langit kelam. Lalu si gadis melanjutkan, "Dan sekarang, adakah kau hendak memiliki layang-layang?"

"Tentu."

"Benarkah?"

"Benar."

"Kalau begitu, jadikan aku layang-layangmu."

Si lelaki mengalihkan pandang. Menatap tajam ke gaun ungu gadis itu. ***

Padang, 22 Maret 2009