Selasa, 28 April 2009

cerepn kamar 409

Kamar 409

Cerpen Ahmad Faishal Silakan Simak!
Dimuat di Sinar Harapan Silakan Kunjungi Situsnya! 04/11/2009 Telah Disimak 55 kali

“Keadilan di sini memang bejat, seperti radio rusak!” Teriak Pak Mistar setelah hakim memutuskan ia tidak bersalah dan secara resmi pihak pengadilan memohon maaf atas kesalahan-kesalahan prosedural di persidangan sebelumnya.

“Pakai minta maaf segala, semua orang mengetahui bahwa kalian semua ceroboh, kalian semua bajingan!” Berdiri sambil menunjuk-nunjuk para hakim, “apakah kalian dan bahkan negeri ini dapat menggantikan masa lalu saya yang hancur itu.” Semua orang yang berada di ruangan itu diam. Suasana ruangan menjadi lengang, seakan-akan sedang berada di jalanan antara Surabaya-Banyuwangi pada jam dua belas malam, “Coba jawab pertanyaan saya. Hayo jawab. Jangan hanya saling berpandangan begitu.” Pak Mistar berdiri sambil mengangkat kedua tangannya, lantas berbalik menghadap peserta sidang.

“Maaf pak, sekali lagi maaf, kami hanya....”

“Lagi-lagi maaf, semakin banyak kata maaf yang kalian ucapkan semakin kelihatan bahwa kalian tampak seperti badut bodoh, memalukan!” Pak Mistar meludah ke lantai, “ Coba kalian pikirkan bagaimana rasanya dicemooh seluruh warga kota. Apakah kalian dapat menggantikannya dengan mengucapkan kata maaf dan memutuskan bahwa saya tidak bersalah? Ketahuilah kalian semua, bahwa saya berhak untuk meledakkan gedung pengadilan ini untuk menebus hukuman dan kesalahan kalian.”

Hakim memukulkan palu keras-keras, “ Sidang ditutup!” Lantas para hakim saling menoleh dan berdiri hendak pergi. Pak Mistar berteriak, “sebentar bajingan. Sebentar!” Para hakim tidak memedulikan teriakan pak Mistar.

“Tutuplah semua, tutup seperti hati kalian agar kebusukan-kebusukan kalian tetap terjaga. Pengecut!. Terkutuk!”

Ruang sidang menjadi gaduh. Para hakim dan jaksa meninggalkan ruangan sidang. Beberapa orang mendatangi pak Mistar untuk membantu menenangkan emosinya. Pak Mistar membenahi bajunya yang sedikit kusut, menyeka keringatnya dengan tisu yang baru saja diberikan oleh rekannya. Lalu Pak Mistar beserta beberapa rekannya beranjak keluar ruang sidang, akan tetapi beberapa wartawan mencegatnya di pintu. “ Bagaimana perasaan Bapak setelah mendengar putusan ini?”

“Apa? Tidak salah kamu menanyakan perasaan saya? Seharusnya kamu menanyakan perasaan hakim, sipir, polisi dan warga kota atas tuduhannya itu. Bukannya perasaan saya yang semenjak sepuluh tahun lalu saya buang jauh-jauh. Hei anak muda, perlu kamu ketahui bahwa perasaan saya telah musnah, jika saya menggunakan perasaan bukannya pikiran barangkali saya telah membenturkan kepala saya ke tembok penjara hingga pecah setelah mendengar putusan pengadilan beberapa tahun yang lalu.”

“Apa saja yang Bapak lakukan selama lima tahun enam bulan dalam penjara?”

“Lima tahun tiga bulan,” pak Mistar diam sejenak mengamati langit-langit ruangan,“ selama itu ternyata lebih berarti daripada seperempat hidup saya untuk tahu kehidupan.”

“Maksud bapak?” ujar salah seorang sambil menyodorkan handphone ke dekat mulut pak Mistar. Pak mistar tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya yang kurus seakan-akan melayang.

“Kamu wartawan apa, dan berapa umurmu sekarang?”

“Dua puluh sembilan tahun,” menjawab seakan-akan ia tak sadar dengan apa yang baru saja diucapkannya.

“Hidupmu begitu lurus dan polos. Seperti tiang listrik. Kamu lihat itu,” menunjuk pada bunga dalam pot depan pintu ruang sidang, “Itulah saya.”

Pak Mistar lantas berjalan keluar hendak menghampiri mobil yang akan membawanya pulang, tapi wartawan-wartawan itu mencoba menghalangi-halangi dengan mengajukan beberapa pertanyaan.

“Apakah Bapak tidak akan menuntut balik pengadilan ini? bagaimana cara Bapak mengembalikan nama baik? Apakah Bapak punya keinginan untuk menikah lagi?”

“Pertanyaan Anda tidak layak saya jawab. Pertanyaan-pertanyaan Anda menyangkut strategi yang telah saya susun selama dalam penjara”.

“Strategi apa itu Pak?” ujar salah seorang reporter TV nasional.

“Dasar kalian para pembuat berita, mana ada strategi diumumkan kepada semua orang, itu sama halnya dengan saya menjebak diri saya sendiri, betul kan?”

Lantas Pak Mistar berjalan memasuki mobil diiringi beberapa rekannya, melambaikan tangan sejenak lalu mobil itu meluncur keluar. Mobil itu tidak menuju ke rumah Pak Mistar, tapi menuju ke rumah makan kesukaan Pak Mistar di perbataasn kota. Rumah makan yang disetting bernuansa Jawa dengan aneka menu masakan tradisional.

“Rujak cingur pedas dan bir dikasih es sedikit,” ujar Pak Mistar kepada pelayan.

“Saya merasa aneh, saya tidak merasa bebas sedikit pun. Malahan nalar pikir saya tidak sejernih ketika saya masih berada dalam penjara,” ujar Pak Mistar sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.

“Kamu memang aneh Mistar, semua orang menghendaki keluar dari penjara.”

“Betul, tapi saya membutuhkan kebebasan. Akhir-akhir ini rasa kebebasan itu bersembunyi dan kebebasan itu saya rasa berada pada ruang yang tak pernah tersentuh dan dirasakan oleh kita.”

“Apalagi kamu ini Mistar, kamu sekarang bebas. Ayo nikmati kebebasanmu dan buang jauh-jauh pikiran anehmu itu,” ujar pak Nomo, lelaki bertubuh besar dengan kumis serupa sapu, sahabat karib Pak Mistar semenjak sekolah SMP di kampung halamannya.

“Dari dulu kamu selalu begitu, kita sebetulnya berbeda pandangan tentang banyak hal, tetapi selalu sepakat terhadap sesuatu yang kita sendiri tidak mengerti,” Pak Mistar tersenyum. Pelayan restoran datang membawakan pesanannya. “Nomo, kamu masih ingatkan pada Santi, gadis kecil yang sama-sama kita sukai dan kita sepakat untuk tidak berbuat apa-apa terhadapnya?”

“Aku sangat kagum pada kulit dan hidungnya.”

“Aku menyukainya sebab ia cerdas dan sederhana,” Pak Mistar tertawa, “Masa lalu yang menyedihkan.”

Beberapa saat hidangan telah habis. Pak Nomo mendatangi kasir. Lalu masuk mobil kembali.

“Kita keluar kota saja, saya ingin sendirian di sana.”

“Ke mana?”

“Malang.” Mobil itu melesat menuju arah jalan tol. Langit mulai sedikit gelap, awan bergulung-gulung, angin berhembus kencang, dari jendela mobil tampak beberapa burung terbang tak dapat mengendalikan diri yang melawan embusan angin. Mobil semakin cepat dipacu. Beberapa saat kemudian gerimis menerpa, kaca mobil dirapatkan.

“Kami masih belum menemukan laki-laki bajingan itu, Pak,” kata salah seorang memecah keheningan, “ kami telah mencari kebeberapa kota bahkan beberapa hari kami menyelidiki pelabuhan, terminal dan stasiun, ternyata laki-laki itu memang selicin belut.”

“Tapi saya kira laki-laki itu masih berada dalam kota, Pak,” kata seorang lagi menimpali.

“Bagaimana ceritanya sampai warga kota tidak menerima pemakaman adik saya,” ujar Pak Mistar berbicara sambil mengusapkan tangannya ke kaca untuk menerangkan pandangannya ke luar jendela dari gerimis yang menguap di balik kaca mobil. Pak Mistar dengan saksama memperhatikan percikan-percikan air di jalan yang dihempas ban-ban mobil.

“Kami telah mencoba memberi pengertian pada mereka bahwa adik Bapak berbeda dengan kakaknya, yang waktu itu mereka sangat muak kepada Bapak, Bapak diibaratkan lebih buruk dari mimpi-mimpi yang paling menakutkan mereka,” kata salah seorang yang duduk di jok tengah, kemudian menyalakan rokok dan menawarkan pada Pak Mistar. Pak Mistar menyalakan rokok itu dan menekan asapnya dalam-dalam ke dadanya, “Bahkan sebagian dari mereka mengatakan bahwa arwah sanak familinya tidak akan dicampur-baurkan dengan mayat yang terkutuk itu, kami tidak dapat berbuat apa-apa lagi Pak, mereka sangat ngotot menolaknya, jadi kami terpaksa mengubur mayat adik bapak itu di daerah rawa-rawa dekat kota kelahiran Bapak.”

“Bagaimana dengan orang di kampung halaman saya?”

“Pendapatnya tidak jauh berbeda, bahkan hampir seluruh warga di kota ini berpendapat serupa.”

“Orang-orang bodoh! Mudah diperdayai. Bagaimana mereka harus mempertanggung-jawabkan sikapnya terhadap saya dan arwah adik saya. Mereka punya utang melebihi seluruh harta dan kehidupannya. Bangsat!” Pak Mistar meludah. Hujan telah reda dan mobil telah memasuki Kota Malang. Mobil terus menelusuri jalan-jalan kota yang dingin itu, “ke Batu,” ujar Pak Mistar. Mobil itu melaju menuju arah yang ditunjuk Pak Mistar.

Beberapa lama kemudian mobil itu berbelok ke sebuah hotel.

“Kalian tinggalkan saja saya di sini, saya ingin sendirian, tiga hari lagi jemput saya.”

“Tapi Mistar....” ujar Pak Nomo yang tidak paham dengan kelakuan Pak Mistar.

“Sudahlah Nomo, saya memang betul-betul ingin sendirian.” Pak Nomo hanya diam. Pengusaha real estate itu lantas memberi segenggam uang, “ini buat berjaga-jaga.”

“Terima kasih.”

Pak Nomo beserta beberapa rekannya kembali memasuki mobil. Melambaikan tangannya. Lalu mobil itu melesat meninggalkan Pak Mistar.

Pak Mistar memasuki lobi hotel, “kamar VIP”.

“Kamar 409 lantai empat.”

Pak Mistar berjalan menaiki tangga lalu memasuki kamarnya. Pak Mistar membuka jendela menatap kemerlip lampu-lampu di bawah hotel. Beberapa saat kemudian pintu diketuk seseorang. “ Masuk,” jawab Pak Mistar. Lelaki itu memperkenalkan diri bahwa ia pelayan hotel, sambil tersenyum ia berkata, “Apakah Bapak butuh teman malam ini, minggu ini ada empat gadis baru.”

“Apa? Gadis baru? Apakah kamu pikir saya butuh perempuan-perempuan tolol itu. Dengar ya, jangan coba-coba perlakukan saya sama dengan tamu-tamu saudara. Camkan itu!”

“Maaf pak,”

“Lagi-lagi kata maaf, sudah beratus-ratus kali saya mendengar kata itu dalam sehari. He, apakah kata maaf itu cukup ampuh untuk menebus suatu kesalahan? Ayo jawab. Jangan diam!”

“Tidak, Pak.” Pelayan itu menundukkan kepalanya sambil menatap lantai.

“Bawakan saya kopi, bir, dan rokok.”

“Baik, Pak.” Pelayan itu bergegas meninggalkan Pak Mistar. Beberapa saat kemudian ia telah kembali dengan membawa pesanan Pak Mistar. Pak Mistar memberikan uang seratus ribu, “Buat kamu.”

Malam semakin larut, cuaca semakin dingin. Pak Mistar masih saja memperhatikan secara detail seisi ruangan: lampu-lampu, kasur, korden, almari, kulkas, lukisan kuda, lukisan penari Bali, dan keramik-keramik. Lalu Pak mistar menyalakan TV, mengganti-ganti program, beberapa saat kemudian mematikannya kembali. Menyalakan rokok, mengambil sebotol bir lalu berjalan ke arah jendela.

Keesokan harinya pintu diketuk seseorang, “Apakah kamarnya akan dibersihkan?” Pintu diketuk lagi, orang itu mengucapkan kata-katanya kembali dengan suara lebih keras. Pak Mistar membuka pintu, “Tidak usah, tolong belikan saja dua koran yang berbeda,” sambil menyodorkan uang dua puluh ribu. “Baik, Pak,” kata salah seorang yang bertubuh lebih kecil, lalu membalikkan tubuhnya, berjalan bergegas meninggalkan Pak Mistar dan rekannya yang sedang memegang seperangkat alat pembersih. Pak Mistar menutup pintu dan lelaki itu menunggunya di luar. Pintu diketuk lagi, “Korannya, Pak,” lelaki bertubuh kurus itu menyerahkan koran pada Pak Mistar. “Ambil kembaliannya.”

Pak Mistar duduk di dekat jendela mengamati koran lokal. Di halaman utama tertulis: “Pengadilan Harus Menebus Dosa”. Pak Mistar membaca dengan saksama seluruh berita tersebut. Koran itu dilipat kembali, lantas Pak Mistar berjalan ke arah meja, meneggak bir, dan menyalakan rokok. Pak Mistar berputar-putar di dalam ruangan itu, lalu menelepon pelayan hotel, “dari kamar 409, bawakan saya bir dan makanan kecil.” Pak Mistar kembali ke tempat koran yang berserakan, Pak mistar membaca berita utama koran harian nasional: “Publik Harus Instropeksi dan Bersikap Kritis”. Pak Mistar membaca sambil mengerutkan dahinya, lalu membanting koran itu.

Pintu diketuk, “Silakan masuk.” Pelayan hotel itu lalu meletakkan beberapa botol bir di meja. “Bawakan satu kemari.” Pelayan itu membuka penutup botol dan menyerahkan pada Pak Mistar. “Ini buat kamu,” Pak Mistar memberikan dua puluh ribu pada pelayan tersebut.

Beberapa saat kemudian botol di tangan Pak Mistar telah habis ditenggaknya.

Pak Mistar menyalakan TV, menekan tombol-tombol remot, dan hampir serentak stasiun TV itu menayangkan berita tentang kasus dan persidangannya kemarin. Pak Mistar membiarkan layar TV itu diam pada acara wawancara antara pengusaha yang menjadi sahabatnya, yakni pak Nomo dengan pakar hukum dan tata negara yang sangat disegani.

“Bagaimana pendapat Bapak mengenai kesalahan prosedural terhadap kasus Bapak Mistar yang telah lima tahun setengah dipenjara dalam kasus tuduhan mencampuri racun pada perusahan air minum yang menewaskan tujuh ratus lebih warga Kota Surabaya, tetapi pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Apakah ini suatu bukti bahwa kelalaian dan kecerobohan masih kental di negeri ini?” ujar presenter TV. Pak Mistar yang agak sempoyongan itu berjalan ke arah meja membawa sebotol lagi ke depan TV. Pak Mistar langsung menenggaknya di saat pakar hukum dan tata negara itu sedang berbicara.

“Perjuangan gigih untuk sahabat Bapak rupanya membuahkan hasil, sebetulnya apa yang memotivasi Bapak? ujar presenter TV itu pada Pak Nomo.

“Yang memotivasi saya cuma sekadar sahabat. Dia memang keras kepala dan pikirannya sedikit radikal, hati nurani saya terpanggil untuk membelanya. Ketika semua orang membencinya, bahkan istrinya sendiri pun meninggalkannya ketika ia masih di dalam penjara. Apa lagi adik kesayangannya dibunuh seseorang yang tidak dikenal pascakejadian yang mengenaskan itu. Adiknya itu seorang guru teladan, entah mengapa orang-orang itu begitu keji terhadapnya. Pada mulanya saya juga memercayai berita-berita dan gunjingan orang, tapi setelah mencermati penderitaan sahabat saya itu, saya mencoba mengumpulkan beberapa orang yang kompeten untuk menyelidiki sendiri. Ya, beginilah hasilnya,” ujar Pak Nomo merasa puas. Pak Mistar kembali menenggak minuman itu. Pak Mistar menekan remot, memindah-mindah program. Pak Mistar tertegun begitu lama ketika di layar TV, tampak istrinya sedang diwawancarai, “Saya masih sangat mencintainya,” ujarnya sambil menangis sesenggukan, “Tapi saya tidak kuat dengan omongan orang-orang, saya dituduh telah menikahi seorang iblis....” Seketika Pak Mistar mematikan TV. Berjalan ke meja dan menenggak sebotol lagi. Lalu Pak Mistar menelpon pelayan hotel dan memesan beberapa botol lagi untuk segera dikirim ke kamarnya. Dengan cepat pelayan itu telah sampai ke kamar 409. “Jangan letakkan di situ, saya sulit menjamahnya. Taruh di atas kasur itu saja.” Pelayan hotel membersihkan botol-botol yang berserakan, lalu berkata, “Bapak sudah mabuk, terlalu banyak yang Bapak minum, sudahlah, Pak, diminum besok saja.” Seketika itu Pak Mistar menoleh ke arah pelayan itu, lalu melempar botol ke arahnya, “Tahu apa kamu tentang kemabukan! Menyuruh saya untuk istirahat. Cepat keluar! Keluar, bajingan!.” Seketika pelayan itu terbirit-birit ke luar.

Pak Mistar menenggak beberapa botol lagi. Semakin cepat ia tenggak minuman-minuman itu. Dengan rasa mabuk yang berat, Pak Mistar berusaha berjalan ke kamar mandi, tapi baru saja beberapa langkah, tubuhnya telah roboh ke lantai. Pak Mistar tidak kuat mengangkat tubuhnya, hanya tangannya yang menggapai-gapai sesuatu. Dengan mengumpulkan seluruh tenaga ia berusaha bangkit dan bertumpu pada TV. TV miring, lalu menimpa kepala Pak Mistar. Layar TV pecah, ada darah mengucur dari keningnya, tubuh Pak Mistar kejang-kejang, pelahan-lahan tubuhnya membiru, darahnya mengering.***