Selasa, 28 April 2009

cerpen peti ayah dan tiga puluh satu tahun setelah itu

Peti Ayah dan Tiga Puluh Satu Tahun Setelah Itu

Cerpen Farizal Sikumbang Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 402 kali

Tiga puluh satu tahun silam, dari tahun kutulis cerita ini, aku memang ingat, tanpa sengaja, ayah menemukan sebuah peti besi seukuran kardus mi instan. Kala itu ayah menggali tanah di belakang rumah dengan hasrat menanam sebatang pohon pisang batu. Ketika galian telah sedalam betis ayah, kami mendengar bunyi berdentang keras ketika beliau mengayunkan cangkulnya. Dengan penuh heran ayah mengurik tanah berlubang itu dengan sebelah tangannya. Ayah merasakan sebuah benda keras. Di akhir cerita, ayah berhasil mengangkat peti dari tanah yang digalinya itu. Peti besi itu telah berkarat, termasuk gemboknya. Kalau tak salah, usiaku kala itu sebelas tahun. Aku menemani ayah menanam batang pisang batu itu.

Tapi ayah tak membolehkan aku melihat di saat beliau membukanya. Hanya beberapa kata yang terlontar dari mulut ayah, yang kuingat, ”Astaga. Tak salah. Benar-benar tak punya perasaan,” demikian kata ayah dengan muka merah dan pucat.

”Jangan kau beri tahukan penemuan ini pada ibumu. Berjanjilah kau buyung? Kau maukan?” kata ayah lagi.

”Tapi apa isinya, Ayah?”

”Tak bisa Ayah jelaskan. Berjanjilah. Berjanjilah!” Ayah mengguncang-guncang bahuku.

Dengan cemas, aku mengangguk.

”Iya. Iya,” jawabku gugup.

Ayah lalu menggendong peti itu jauh ke luar pekarangan kami. Sekejap tubuhnya lalu hilang di balik rimbun pohon-pohon.

Sebelum kutuntaskan isi cerita ini, baiklah, akan aku ceritakan dulu riwayat keluarga kami. Ibu meninggal lima tahun yang lalu akibat sakit di perutnya yang tak kunjung usai selama tiga hari. Sedangkan ayah meninggal dua minggu yang lalu dengan tenang di tempat tidurnya. Aku memiliki seorang kakak laki-laki, yang kelak menjadi masalah dalam cerita ini. Namanya Samsudin. Usianya terpaut empat tahun. Tapi sebenarnya, sebelum Samsudin, sebenarnya aku punya kakak perempuan. Namun sayang, di saat usianya baru sepuluh bulan, dia meninggal karena muntah-muntah. Setelah meninggal, ayah dan ibu baru tahu bahwa dia kena palasik. Ayah dan ibu lalu menyesali kematian kakak perempuanku itu sepanjang hari. Tapi yang sangat terpukul atas kematian kakak perempuanku itu adalah ayah.

Sampai beliau meninggal, ayah masih sering menyebut nama kakak perempuanku itu.

Aku pun menyesali kematian kakak perempuanku itu. Sebab, dalam adat kami, harta pusaka sebenarnya dicurahkan buat yang perempuan. Dan ayah mewarisi kami sawah dan ladang yang berjumlah sepuluh petak. Tapi, bukan, bukan sawah ayah sebenarnya. Sawah itu milik ibu yang diperolehnya dari pembagian harta dari pihak nenek. Ayah hanya menggarapnya karena tak punya pekerjaan lain.

Sebenarnya, tak pernah terlintas di ingatanku kembali akan peristiwa tiga puluh satu tahun yang lampau itu, yakni ketika ayah menemukan sebuah peti sebesar mi instan itu. Tapi, kakakku, Samsudin, satu minggu setelah kepergian ayah, mempertanyakan soal peti itu. Mulanya aku heran, bagaimana ia tahu?

Oh ya, sebelum kulanjutkan cerita ini, ada baiknya sedikit kujelaskan dulu perihal kakak laki-lakiku itu. Dia kakakku satu-satunya. Kata ayah, dia laki-laki pendosa. Sebab, sewaktu sekolah es-em-a, kerjanya suka menyabung ayam, main domino, serta suka pulang tengah malam. Dia tidak suka dinasihati. Setelah menikah, ia bekerja menjadi calo tiket bus angkutan kota. Sekarang anaknya sudah lima. Tetapi, kata ayah, bulan-bulan belakangan sebelum beliau meninggal, ia rajin minta uang pada ayah. Kata ayah lagi, yang membuat aku kaget, dan tak pernah kusangka, ia telah menjadi anggota caleg sebuah partai.

”Semakin hari aku mengkhawatirkan keadaannya. Aku takut, jika aku meninggal, akan dijualnya harta ini,” kata ayah.

”Berdoa sajalah, Yah. Mana tahu ia benar-benar dapat kursi di anggota dewan. Itukan juga membuat kita senang, dan otomatis hidupnya akan sejahtera.”

”Tapi setiap ia kemari. Kerjanya minta uang saja. Pusing kepala ayah dibuatnya. Katanya untuk upah poster fotonya biar bisa dipajang di sepanjang jalan. Buat kalender yang ada fotonya untuk dibagikan pada orang sekampung. Stiker. Dan entah apalagi. Aku heran, kenapa partai itu mau menjadikan ia anggota caleg. Apa tak ada orang lain.”

”Entahlah Yah. Aku tak mengerti soal itu. Aku bukan orang partai. Politik pun aku tak mengerti.”

”Ya, ya. Kau memang pantas jadi guru ngaji saja. Politik itu rumit. Ayah harap kau tak mengikuti jejak kakakmu itu. Anak celaka.”

Mungkin memang benar kata ayah bahwa politik itu memang rumit, seperti kakakku itu yang tiba-tiba saja seperti orang sakit. Betapa tidak, empat hari setelah kepergian ayah, tanpa minta persetujuan dariku, ia menjual lima petak sawah peninggalan orangtua kami.

”Mengapa Uda tak pernah minta persetujuan dariku,” tanyaku marah usai ia beritahu soal itu.

”Aku rasa itu tak perlu Pak Guru Ngaji,” jawabnya tersenyum seperti mengejek. ”Yang lima petak itu bagianku. Dan lima petak yang masih tersisa itu kini milikmu. Adil bukan?”

”Bukan soal itu. Ini masalah harta pusaka yang dijual.”

”Hei buyung,” katanya meninggi. ”Pasang otakmu. Itu lebih baik dijual. Pikirkan olehmu, apa kita punya saudara perempuan, he. Kalau tidak dijual, kelak jika kita berdua telah mati, siapa yang akan mewarisinya. Anak-anak kita? Ah, itu tak mungkin. Orang sesuku kita tentu akan marah. Kalau tidak dijual tentu anak etek atau cucunya yang nanti mengambilnya. Padahal, mereka kan sudah ada pembagian dari etek. Kau mengerti maksudku?”

Mendengar penjelasan kakakku tentang itu, aku tak bisa membalasnya. Kalau dipikir, memang begitulah jadinya. Harta pusaka akan menjadi petaka bila tak punya saudara perempuan di negeri Minang ini.

Dan seperti yang telah kujelaskan tadi, satu minggu setelah kepergian ayah, kakak laki-lakiku itu mendatangiku lagi. Ia menanyakan soal peti itu.

”Jadi, di mana peti itu. Kau harus membagi dua denganku. Aku tahu ayah teramat sayang padamu hingga tentang peti itu aku tak diberitahunya.”

”Peti? Peti apa,” tanyaku heran pada mulanya.

”Jangan kau berlagak tak tahu. Kau ingin menguasai sendiri ya. Kau jangan berdusta. Kau tahu sekarang aku butuh uang untuk kampanye. Aku ini anggota caleg. Aku butuh biaya besar.”

”Uda kan baru saja menjual tanah? Apa uang itu sudah habis.”

”Hei uang lima puluh juta itu mana cukup. Aku harus memberi uang untuk tim suksesku. Biaya sumbangan buat orang sekampung. Belum ini dan itu. Kuharap kau pahamlah.”

”Tapi, aku tak tahu soal peti itu.”

”Hei, apa kujual saja rumah peninggalan pusaka itu, ha. Biar habis semuanya. Biar peti itu buatmu dan rumah itu buatku.”

”Tunggu dulu,” kataku. ”Tolong Uda jelaskan, peti apa yang Uda maksud.”

”Kau ingat tiga puluh satu tahun yang lalu? Saat kau dan ayah menemukan sebuah peti sebesar kardus mi instan di belakang rumah?”

”Tiga puluh satu tahun yang lalu?”

Aku mengerutkan kening.

”Ya, ya. Aku mulai ingat. Dari mana Uda tahu?”

”Aku melihat ayah melarikan peti itu. Ia bersamamu kan?”

”Lalu, untuk apa Uda tanyakan tentang peti itu?”

”Jangan berlagak tak tahu. Tentu peti itu banyak emasnyakan?”

”Emas?”

”Ya. Bukankah orang tua-tua dulu suka menyimpan emasnya dalam peti?”

”Tapi aku tak tahu soal peti itu,” kataku.

Hari itu Uda Samsudin memarahiku. Ia terus berulang kali menanyakan soal peti itu di rumahku. Dan hari itu juga, setelah tiga puluh satu tahun lamanya, aku harus mengingat kembali peristiwa itu.

Dengan rasa penasaran, besok paginya aku mendatangi rumah kami. Rumah pusaka peninggalan ayah dan ibu. Aku penasaran tentang peti itu. Sungguh, aku tak tahu di mana ayah menyimpannya. Apakah ayah menanamnya kembali atau disimpannya di tempat lain? Aku memang tidak tahu pasti.

Sesampai di rumah, aku memeriksa tempat-tempat penyimpanan barang ayah. Dari almari, tempat penyimpanan foto serta barang-barang kesukaan ayah. Dari semua itu, aku tidak menemukan petunjuk tentang peti itu. Aku putus asa.

Tapi sewaktu aku memeriksa di bawah tempat tidur ayah, aku menemukan buku agenda. Usianya mungkin sudah bertahun-tahun. Kertasnya sudah agak menguning. Isinya pertama aku menemukan catatan tentang uang pengeluaran ayah. Uang beli semen, pasir, belanja pupuk. Dan, entah kali ke berapanya aku membolak-balik isi agenda itu, aku akhirnya menemukan petunjuk tentang peti itu. Begini isinya:

Sampai usiaku lima puluh tahun, aku masih sering meratapi kematian anak perempuanku itu. Aku sangat menyayanginya. Mungkin karena aku tak punya saudara perempuan. Aku telah menyiapkan barang-barang permainan buatnya, juga baju yang indah. Tapi, Tuhan mengambilnya. Aku lalu mengemasi barang-barang itu dalam sebuah peti. Biar barang itu akan abadi bersamanya. Tapi, istriku memang keterlaluan. Ia membuang peti itu entah di mana. Ia tidak memberitahuku di mana dibuangnya. Tapi suatu hari aku menemukannya, ia menguburnya di belakang rumah rupanya.

Aku terus membolak-balik isi buku agenda itu. Tapi aku tak menemukan kalimat lain tentang peti itu kecuali perihal tentang surat-surat uang masuk dan uang pengeluaran ayah.

Dengan tersenyum, aku lalu melipat buku agenda ayah itu. Aku berjanji, siang nanti aku akan menemui Uda Samsudin di rumah istrinya. Ya, aku akan memberikan agenda itu padanya. Biar ia tahu tak ada emas di dalamnya. ***

Padang 2009

Keterangan

1. etek > adik ibu

2. palasik > penyakit yang biasanya menyerang anak-anak yang diakibatkan oleh orang tertentu dengan cara mengisap darah anak-anak secara tidak langsung

3. caleg > calon anggota legislatif