Selasa, 28 April 2009

cerpen wanita tanpa suami

Wanita tanpa Suami

Cerpen Cian Ibnu Sina Sj Silakan Simak!
Dimuat di Batam Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 04/05/2009 Telah Disimak 70 kali

Ia baru belasan, belum sempurna. Ia masih benar-benar ganjil. Tapi dini usia dunia ini memang layak bagi kehidupan anak muda. Sekarang hampir semua anak muda menelan bulat-bulat setiap tutur para pelaku. Terbiasa menerima pasrah ucap para penikmat, pemikat. Lebih sering memakai celoteh para pemake. Beginilah sekarang dunia dikenal bukan lewat pemaknaan sebagaimana adanya. Kenyataan senantiasa dikenal lewat iklan, dunia direnungi melalui lagu, realitas dipahami berdasarkan slogan. Apa saja yang membangun citra diri, meski semu.

Waktu terus berlalu, tak pernah kembali. Minggu sekarang mutlak sekarang, bukan minggu belakang dan bukan pula minggu depan. Sekarang sebaya-sebaya itu menerima liburan panjang penutup jenuh yang lama membungkusnya. Sekarang bukan kemarin, bukan hari depan. Iklan bukan lah slogan dahulu. Lagu adalah nada yang diterima sepenuh gairah sekarang. Semuanya mengalir begini, tak perlu disinggahi lagi malaikat zaman. Tapi zaman sendiri menjadi malaikat bagi dirinya.

Sambil menikmati tumpukan buku dan lagu, bersama hening matahari. Tiba-tiba saja angin segar menghentak pelipis kiri dan kanan mata perawan muda belia itu. Sambil menahan celoteh sang Ibu dan Ayah. Yang baru saja sama-sama berguru pada tutur, mengaji pada janji-janji Ilahi. Tepat di belakang bayangan zaman. Ia tak sanggup kalau hidup sebagaimana Ibunya dahulu. Sepertinya memang sangat tak mungkin di zaman ini seseorang jika dianggap bukan sebagai dirinya sendiri be your self, hingga kapan pun ia meramu keraguan ini.

Perawan muda nan belia itu mengelus luhur ungkapan dan ucapan dari lubang di mana ia keluar dahulu darinya. Menahan makna tak mungkin, penuh terkaan cukup menuakan nalar. Menarik janji, pasti juga tak mungkin. Yang ada hanya sarat arti memiliki mimik diri. Lalu ia masuk ke kamar tempat di mana segalanya menjadi sepi sunyi sendiri. Pada belantara ruang itu, ia tak lama keluar lagi. Kembali menghirup angin dingin yang terbawa oleh gelapnya daun malam.

"Apa yang akan kulakukan sekarang adalah miliku semata bukan sebab Ibuku", Bisiknya dari dalam senyum mulut manis perawan belia itu. Yang tak pernah lama selalu ia kumandangkan kepada teman-teman lelakinya. Ia sendiri bernama Mesrani Ayu Mesra. Namun lebih sering dipanggil Mesrani atau Neng Mesra atau hanya disapa Ayu atau juga Mesra saja, sekarang banyak nama tambah terkenal. Banyak panggilan, menambah tinggi prestise diri.

Sehabis letih menangisi sunyian sepi, melepas lelah dipapah ucap sang Ayah. Ia membisik kesekian kalinya kepada teman biasanya. Bebisik itu senantiasa mengulang menerka zamannya yang telah rapuh di tubuh waktu, hanyut di kamar masa. "Aku tak kuasa menahan reruntuhan mulut Ibu yang selalu kudengar, saban zaman sedari detik sambil memaki menit, Ibuku melamun aku menjadi sepertinya". Celotehnya kepada teman biasanya itu. Sambil tertawa, Ayu minum cairan manis beralkohol bersama sejawatnya. Maklum ia pikir, tidak minum berarti tidak gaul.

Sebagai rasa yang teramat berharga bagi usia menjelang mapan, Ayu menimba terus bergaul bagai burung terbang meluapi angkasa raya. Mencari tafsir ke sana ke sini. Sekadar untuk mengerti tentang dirinya. Sekadar mengetahui bahwa dirinya benar-benar miliknya sendiri. Tak lama kemudian hangat pun hinggap bersama banyak temannya, tak juga sempat lama menunda mesranya kesempatan sesaat. Ia dibisik oleh runcingnya anyir hati sang lelaki. Ia disapa oleh keperkasaan purba teman-teman lelakinya.

Hari pun menghilir mudik, menutup uluran waktu dan membuka harapan zaman. Mesra pun menjadi berbadan dua, bertubuh gemuk. Serupa Ibu dalam waktu yang singkat. Tak mengapa, selagi ia melakukan dengan setia teman. Ini barangkali yang menjadi mutlak bagi dirinya. Dalam tatapannya, begini lah sesuatu yang dilakukan yang harus mutlak. Mesrani lupa kalau dulu Ibunya selalu berpesan bahwa umur tak pernah mundur, apalagi mengulur. Ayu telah tak ingat ungkapan sang Ayah yang senantiasa memapah makna mengantar lelap dalam tidurnya, sejak kecil dulu penawar lelap.

"Tak masalah, selagi serpihan semakin rumit melejit irisan takdirku. Aku semakin bahagia karena apa yang aku lakukan adalah sebabku yang menyuruh untuk berbuat begini dan begitu, bukan Ayah atau Ibuku". Bisik nadi si perawan muda itu sambil menikmati sentuhan di alas sang perkasa. Teman-temannya semakin menikmati permainan purba itu, hilir mudik dan bau amis birahi terpanggang oleh masa yang tak henti-hentinya bergoyang berkeringat sedingin embun surgawi.

Laksana petir memecah hujan, seperti matahari menangisi cahaya malam yang datang mengganti dirinya. Sekarang si perawan belia itu telah benar-benar bertubuh tak tunggal lagi. Neng Mesra telah memiliki empat tangan, empat kaki. Dua kepala kecil dan besar, dua badan tua dan muda. Ia tertawa menangisi nasib menit dan denyut detik kemarin ini. Sementara bidan-bidan perkasa itu kehilangan jejak untuk memapahnya, para perkasa itu lari terbius birahi yang lain. Mereka menangis menertawai kesetiaan si perawan belia itu.

Sepulang dari main. Ketika masuk rumah, Ayu tak disapa Ayah tak dipangku Ibu dalam dialog. Ia hanya bertemu suara; "Tidak Nak ! Kau sekarang telah berdua secara bersahaja dan aku tak pernah menafsir menit untuk detik seperti yang ada pada dirimu kini. Kembalilah dan cari birahi-birahi itu yang sempat menetesi mungil bayi dalam perutmu. Cari lalu kumpulkan malam bila sengatnya telah menyentuhmu dengan pasrah". Begitu kalimat pengantar sebelum Mesra duduk dikursi panasnya.

Kini dunia termangu aroma lagu lama. Bayangan makna yang asing menjauhi dirinya Sambil menagih ungkapan dan ucapan, sang Ibu dan sang Ayah hanya diam dalam bahasa. Tak berkalimat dalam makna. Tak berkata selagi komunikasi menghimpit petir rasa gundah di dada keduanya. Melihat putri kesayangannya telah berubah secepat kilat. Bagai petir mengukir nasib. Kedua orang tua Ayu hanya bisa mengobati kesakitan dirinya, bukan untuk mengobati anaknya sendiri. Mesrani pun kehilangan pengasuh. Ditinggal seorang yang biasa rela menyapa tanpa dipinta. Kini semuanya menjadi berbeda. Ia benar-benar merasakannya. Ia sungguh bebas dalam ketidakbebasannya.

"Baiklah ! akan Ku panggil birahi itu, akan Ku sapa perkasa itu. Lalu aku tagih dirinya yang ingin berbakti". Jawabnya tak sempat lama. Ayu lalu menitip nadinya yang baru. Ia bergegas mencari pasangan yang dahulu singgah di lubang kehidupannya. Secepat amanat kedua orang tuanya, Mesra bertemu banyak perkasa itu. Lalu mengajaknya ke rumah untuk sekedar didakwa sang Ayah dan hanya di tentu sang Ibu. Kapan anak yang tak diharap kelahirannya diakui ayahnya ? Kapan buah hati tak disengaja ini disapa sang ayah ? Adakah yang mengakui bayi ini ?

Semua mereka hadir. Wajah perkasa tepat di depan mata kedua orang tua dan juga di depan mata Ayu. Di hadapan kedua orang tuanya mereka tersipu tak sempat malu, berbaris menghimpit tagihan masing-masing dakwaannya. Lalu semuanya menduduki meja hitam cinta terlarang. "Di antara kalian, siapa paling energik menusuk lubang kehidupan buah hatiku ini. Apakah kalian akan mentakdirkan hidup mungilnya buah hati buah hatiku ?". Tanya seorang ibu yang baru saja menjadi nenek tersenyum murka.

Semua perkasa itu melirik kanan kiri, saling menoleh. Bagai aroma petir di siang hari, seperti bugilnya malam di tengah hari bolong. Semua bengong melotot, kayak kebo bego. Laksana aneh bin kaget. Semuanya tersenyum tak percaya. Tak satu dari mereka selamat sebagai dakwaan. Tak satu pun bisa memasuki lembah keluarga itu. Semuanya sepakat mengatakan "kami semua membeli dengan kesetiaan dan kepercayaan, bukan kecelakaan cinta terlarang. Kami senantiasa bersama menemani buah hatimu; berteman tapi mesra". Ungkap mereka senada seirama.

Apa hendak di sapa, semuanya telah begini. Di zaman ini teman tapi mesra menjadi denyut jantung pergaulan anak muda, sarat pemutlakan kebiasaan baru. Kedua orang tua Ayu meneteskan mutiara di pangkuan buah hati dan buah hatinya. Si kecil yang malang itu menjadi takdir pengganti buah hatinya. Sementara tiang nasib si perawan muda belia itu sebatas pengalaman pengantar kehidupan baru kelak. Ia menjadi takdir irisan zaman, kini Mesra berteman durja membawa malapetaka.

Kesempatan telah hilang, sirna pun tiba di sudut ucap sang Ibu dan di lembar kata sang Ayah. Si perawan muda tak sanggup kembali meramu petuah lama. Meski pepatah baru telah merenggutnya menjadi titian nasib yang tak berarti. Ia tak kembali, melaju terus menuai selaput noda dalam dirinya. Ia harus bertanggung jawab atas kata-katanya sendiri. Layaknya menumpahkan permata air kehidupan untuk dirinya. Lalu seperti di hina di cerca oleh kemauannya sendiri.

Sekarang Neng Mesra meraih dunia baru. Setelah meninggalkan buah hatinya, ia menjelma air keruh di sepanjang jalan. Dunia lepas landas berselimutkan alas dosa zamannya. Ia menitipkan takdir di pinggiran sirkuit, tak sempat mengulangi apa yang pernah diingatkan kedua orang tuanya. Tak masalah semuanya telah gugur terkubur waktu. Lalu ia menjerit seperti kesakitan saat gerombol malam menghujani dirinya. Pasrah pada kenyataan dan berkata dari mulutnya yang sempat menaruh iba pada ucap sang Ibu dahulu.

Bersama tusukan dingin malam dan rapuhnya gelap mengganti terang yang mendobrak halus kulit mungilnya, Ayu pun berkata khusus kepada dirinya sendiri. Meski tak lagi didengar oleh sebaya-sebayanya. Karena semua teman tak menghiraukannya lagi. Ia menempuh hidup benar-benar sendiri. "Aduhai terhimpit aku oleh syair. Duhai...Ibu, sejuta maaf ku luluhkan untukmu, aku peluh melepuh karena tak menakar yang keluar dari lidahmu. Oh...Ayah, seribu malu kutumpahkan untukmu, aku lesuh meletih lebih takdirku yang tak menyapa kata-katamu". Gumamnya saat setelah dihujani bangsa malam.

Begitu lah seorang perempuan cantik jelita pemuja iklan yang menjadi lalu lalang di jalanan. Yang hanya berteman bayang cahaya malam, bersua makhluk malam berdasi lagi berbisa. Jarum waktu terus menjulur. Mengubur kenangan lalu yang lugu. Membuka kenangan baru yang suram. Sering Ayu melamun memikirkan bagaimana nasib anaknya. Sudah sekian tahun lamanya tak menyapa. Melihat pun tidak. Ia kangen ingin sekali melihat buah hatinya. Sering menangis kalau ngebet ingin melihat buah hatinya. Atau kalau mimpi bercanda dengannya.

Kini Mesrani tak tahu apakah anaknya sudah kelas berapa seandainya disekolahkan oleh kakek dan neneknya. Namun ia sering mendapat kabar dari tetangganya yang masih setia menjumpainya. Maklum seorang tetangganya seprofesi meniti nasib di pinggiran jalan. Hanya berbeda, temannya bekerja di Hotel milik Haji Furkon. "Neng Ayu si Ujang teh tos kelas lima SD. Rengking kahiji wae disakolana teh, ih mani resep budak teh keur bageur teh pinter deuih". Ucap Nyi Saritem menjelaskan buah hati Neng Mesra.

Karena kabar tak putus-putus, informasi tak henti-henti. Kalau temannya pulang kampung, Ayu sering menitip uang untuk bayaran sekolah anaknya. Ia pikir nenek dan kakeknya pasti sudah serba kurang untuk membesarkannya. Begitu banyak Mesrani kalau menitip uang pada temannya. Terkadang lima ratus ribu hingga sejuta pada setiap minggunya. Sebab ia rasa nenek dan kakek buah hatinya itu, juga membutuhkan kirimannya. Usaha Ayu bulan-bulan ini semakin membaik terus. Mungkin perasaan seorang ibu terhadap anaknya begitu erat. Seperti juga anak kepada seorang ibunya yang kini menjadi nenek dari buah hatinya.

Kabar selalu datang. Kini kabar yang teramat membahagiakan diceritakan Nyi Saritem kepada Mesrani. Pesan cerita itu seakan mengajak Ayu untuk segera pulang kampung menemui ayah, ibu, dan anaknya sekali dalam hidupnya selama di kota. Apa yang diceritakan Nyi Saritem sungguh menggugah Neng Mesra. Ia menceritakan kalau suatu kali sisa uang kirimannya bukan hanya dipakai anaknya saja, melainkan digunakan membuat jembatan umum. Merenovasi mesjid, madrasah, dan juga bangunan sekolah yang terancam musnah.

Ayu pikir ini lah saatnya harus pulang. Kembali menagih janji takdir bahwa dirinya perempuan cantik jelita yang baik yang harus kembali pada kebaikan lagi. Uang yang cukup bagi penghidupan kampung halamannya telah mengantarkan Ayu kembali ke jalan yang benar. Ia begitu bulat untuk meninggalkan perdagangan malamnya di kota. "Sekarang aku mempunyai kesempatan kembali baik". Pikirnya tak lama sambil membereskan semua hubungan kota menuju kampung halamannya. Ia menjual mobil dan rumahnya di kota. Ia ingin kembali mencicipi akhir kehidupan yang baik penuh kesederhanaan. Uang dari jual mobil telah di bawa Nyi Saritem dua hari yang lalu. Sesuai kehendaknya, uang itu dipakai untuk memperbesar masjid. Karena masyarakat sangat membutuhkan keleluasaan saat melakukan shalat di masjid.

Dengan keikhlasan bertaubat dalam hati. Mesrani tiba di kampung halamannya. Aneh bin ajaib. Tak satu pun yang menyapa barang sepatah kata pun. Padahal sebelumnya ia telah menjelaskan keadaan dirinya yang kembali sebagaimana masyarakat di mana ia dilahirkan. Tak satu pun yang alpa dari memaki, meludahi, melempari perempuan baik itu. Nyi Saritem bengong tak mampu menolong. Pak Haji Furkon selaku imam masjid segera mengumpulkan warga untuk menghukumnya. "Ini wanita kotor telah kembali akan mengotori kampung kita, ia pura-pura bertaubat". Katanya sambil menyemprotkan air kotor dari comberan ke sekujur tubuh Ayu.

Pak Haji Furkon sebulan lebih dulu bertaubat dari Mesrani Ayu Mesra. Ia menjual Hotel bukan seperti Ayu yang dihibahkan untuk memperbesar masjid. Tapi dipakai naik haji dan umrah untuk kedua kalinya sebagai pertanda tobatnya. Nyi Saritem juga pernah mengaku kalau dua hari sebelum pak Haji Furkon pergi ke tanah suci, ia dicintainya hingga dua malam penuh. Mesra tahu persis cerita dari temannya itu. Tapi semuanya telah berubah. Kini semuanya menyapa Ayu tak lebih sebagai Anjing yang teramat najis. Yang harus diusir warga dari kampung halamannya.

Tubuh Mesra basah kuyup, bau busuk air dan hitam pekat karena lumpur. Semata oleh ludah dan semburan air kotor dari comberan yang dibawakan pak Haji Furkon. Ia tak sempat menginjak bangunan mesjid baru hasil keringatnya. Tak sempat shalat di dalamnya. Ia terus dihujani makian, hinaan, dan tamparan kakek dari buah hatinya. Si Ujang lagi sekolah. Ia belum melihat ibunya yang sudah sekian tahun tak bertemu.

Wajah Ayu semakin membasah. Badannya menggigil kedinginan. Padahal jam menunjukan pukul sepuluh malam. "Biarlah kini aku dianggap kotor. Tapi lebih kotor lagi yang tak menerima kehadiranku sebagai insan bertobat. Aku yakin Tuhan telah menerima tobatku. Tidak seperti kalian yang mengkhianati agama dengan sok tahu mengusirku". Katanya sambil pergi menjemput pagi. Membawa tangisan sepanjang jalan. Meninggalkan anak serta kedua orang tuanya.

"Tobatku ikhlas tidak akan kembali bekerja malam di kota. Maka Aku tak butuh kampung yang dihuni para pengkhianat agama. Akan kucari sebuah negeri yang memerdekakan perempuan tobat". Pesannya kepada seorang anak muda berseragam SD yang kebetulan berjumpa setelah pergi dari kampung halamannya, saat itu masih pagi pukul setengah tujuh. Anak muda itu tak lain adalah si Ujang yang baru berangkat ke sekolahnya. Anak SD itu tak bisa apa-apa. Ia hanya bengong tiba-tiba ada perempuan bau tak sedap berlumuran kotor lalu berpesan kepadanya, tapi ia merasakan melihatnya seperti bercermin dalam kaca. Ia melamun ragu dan menepis yakin, mungkin kah perempuan itu yang melahirkanku? ***