Selasa, 28 April 2009

cerpen situ gintung

Situ Gintung

Cerpen Putu Wijaya Silakan Simak!
Dimuat di Suara Merdeka Silakan Kunjungi Situsnya! 04/05/2009 Telah Disimak 282 kali

”Ami harus ke Jakarta, melihat tragedi Situ Gintung,” kata Ami di meja makan.

Pak Amat dan Bu Amat lirik-lirikan. Tapi Ami tidak peduli.

”Ami mau melihat apakah bencana itu betul musibah akibat alam semakin buas atau keteledoran pemerintah yang sudah tidak peduli lagi pada tugasnya untuk mengayomi rakyat. Atau keteledoran, kealpaan dan kebandelan penduduk yang membangun rumah di wilayah yang semestinya untuk resapan air? Atau gabungan dari semua itu? Di samping itu kita harus nyumbang dong!”

Bu Amat menarik napas panjang.

”Ongkosnya dari siapa?”

”Ya dari Bapak dan Ibu, masak dari langit!”

Bu Amat mengangguk. Ini mengulang kejadian ketika Ami mau ke Yogya pada masa gempa. Hanya Amat yang bisa menyelesaikan persoalan itu.

”Bagaimana Pak?”

Amat batuk-batuk.

”Bagaimana Pak? Ada duit nggak. Paling juga lima juta.”

Amat seperti kelenger mendengar jumlah itu. Ia perlu menenggak air putih sebelum menjawab sambil mengendalikan perasaan.

”Baik. Kamu mau berangkat kapan?”

Bu Amat terkejut.

”Tunggu! Jangan iya, iya saja. Uangnya dari mana?”

”Tenang, Bu, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.”

Amat berdiri sambil mengulurkan tangan pada Ami.

”Bapak boleh pinjam motor kamu?”

”Bapak mau ke mana?”

”Boleh tidak?!”

Ami terpaksa mengulurkan kunci motor.

”Bapak jangan aksi-aksian naik motor nanti kalau vertigonya kumat bagaimana?”

Tapi Amat tak peduli. Tak lama kemudian terdengar suara motor dihidupkan. Bu Amat bergegas hendak mencegah. Tapi Amat sudah meluncur. Hampir saja dia menabrak anjing yang melintas di depan pagar. Motor dibelokkan tajam, hampir masuk ke selokan.

”Pakkkk!”

Amat beruntung dapat mengendalikan. Sambil membunyikan klakson, dia meluncur ke jalan besar. Bu Amat mengurut dada.

”Bapakmu kalau sudah merasa terhina, begitu kelakuannya.”

”Terhina?”

”Habis kamu kan minta disediakan lima juta. Jangankan lima juta, untuk beras minggu depan saja kita belum tahu dari mana. Sebagai kepala rumah tangga bapakmu merasa bertanggung jawab mencukupi kebutuhan kita, jangan-jangan...”

”Motor Ami mau digadaikan!”

”Mendingan. Kalau dijual?”

Tapi kedua tebakan itu salah.

Satu hari Amat tidak pulang. Bu Amat dan Ami menunggu dengan cemas. Hampir pukul 07.00 baru Amat muncul. Mukanya lusuh. Lutut celananya robek.

”Dari mana Pak? Bikin degdegan saja!”

Amat tidak menjawab. Dia menenggak air putih dua gelas, lalu duduk di kursi seperti ambruk. Bu Amat mengambil handuk dan baju bersih.

”Jangan keluyuran seperti anak muda. Kamu sudah tua, Pak! Cepat mandi biar bersih, kubikinkan air panas sekarang.”

Amat nyengir.

”Aku tadi ngojek.”

”Apa?”

”Aku coba ngojek tadi, tapi hasilnya nol. Nggak ada yang percaya. Aku malah diketawain. Akhirnya aku ngantar siapa saja yang mau numpang, tanpa dibayar. Hitung-hitung untuk promosi. Kalau aku yang ngantar pasti selamat. Besok kalau aku ngojek lagi, mereka pasti rebutan. Tapi hampir pulang tadi, aku nabrak anjing dan jatuh ke selokan. Untung motornya tidak hancur. Badanku saja yang remuk.”

Bu Amat kaget. Ami cepat ke depan melihat motornya.

”Jatuh ke selokan? Patah tidak?”

”Entahlah di dalam sana. Kata pemuda-pemuda yang nolongin, baiknya besok di-rontgen siapa tahu di dalam ada yang salah.”

Bu Amat mendekat lalu mengurut badan suaminya.

”Sakit?”

”Nggak. Enak.”

Bu Amat terus mengurut sekujur tubuh Amat.

Ami muncul dengan muka cemberut...

”Bapak tadi pulang bagaimana?”

”Ya jalan.”

”Jalan?”

”Habis motornya tidak bisa di-starter, terpaksa dituntun. Untung ada anak-anak yang bantuin dorong. Pelek depannya bengkok.”

”Makanya... Jangan bilang motornya tidak apa-apa. Besok mesti dimasukin ke bengkel. Seminggu kali tidak akan bisa dipakai lagi.”

”Ya sudah, habis mau diapain. Untung Bapakmu tidak apa-apa Ami. Makanya jangan sok mau ke Situ Gintung dan minta lima juta. Bapakmu kan jadi bingung.”

Ami mendekati Amat.

”Ya Pak? Bapak bingung karena Ami mau ke Situ Gintung dan minta lima juta?”

Amat nyengir.

”Tidak.”

”Kalau tidak kenapa kalap pinjam motor sama anak mau jadi tukang ojek? Itu kan namanya goblok. Tukang ojek beneran juga tidak akan bisa ngumpulin lima juta sehari, apalagi Bapak yang punya vertigo.”

”Namanya pengalaman, hikmahnya pembelajaran”

”Ah! Pengalaman lagi, pengalaman apa? Bom Bali, tsunami, gempa Yogya, Lumpur Sidoarjo kan cukup! Kapan belajarnya kok nggak tamat-tamat?”

”Belajar itu seumur hidup, Bu, tak pernah tamat.”

”Sudah ah! Mandi pakai air dingin saja sana! Capek aku ngurus orang bandel! Kalau menjawab paling pinter!”

Bu Amat ngeloyor ke dapur. Tinggal Amat dan Ami. Amat meraih sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop.

”Ada orang yang ngasih ini ketika tahu kenapa aku ngojek, Ami.”

Ami menyambut amplop itu. Ketika dibuka ia tercengang. Isinya lima juta.

”Tabungan Bapak ya?”

Amat mengangguk.

”Bapak terharu melihat semangatmu mau membongkar tragedi Situ Gintung itu, Ami. Bapak jadi malu menyembunyikan simpenan sementara ada saudara-saudara di Situ Gintung membutuhkan pertolongan. Api pengorbanan kita sudah hilang, karena semua orang mengejar kemapanan. Yang berkobar sekarang semangat dagang, semangat cari untung. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari pemimpin pedagang! Kamu berangkat ke Jakarta besok!”

Semalaman Ami memandangi amplop yang berisi lima juta itu di kamarnya. Terus-terang ia tidak pernah sungguh-sungguh ingin pergi ke Jakarta menyaksikan tragedi Situ Gintung dari dekat. Apalagi mau membongkar siapa yang bersalah atas kematian 97 korban dan 126 penduduk setempat yang hilang.

Menyumbang juga hanya karena tuntutan rasa bersalah.

”Itu hanya gertak sambal, omongan gagah anak ingusan yang aku harapkan langsung akan dibantai oleh Bapak dan Ibuku,” kata Ami kepada Chita, ”eh nggak tahunya bapakku malah menanggapi serius. Bukan dia yang terharu dan malu, malah aku sekarang yang terharu dan malu, karena patriotisme bapakku itu ternyata masih tebal. Semangat kemanusiaannya masih hebat. Masak dia rela nyomot duit simpenan yang diam-diam ditabung, hanya karena aku ingin ke Situ Gintung? Aku kan hanya sok-sokan, galak di mulut. Paling banter kalau ke Situ Gintung, Jakarta, aku hanya akan jadi turis yang merepotkan para relawan.”

Chita ketawa.

”Kamu jangan ketawa jelek begitu!”

”Aku tidak ketawa meskipun kelihatan ketawa. Aku yakin kamu akan ke Jakarta.”

”Stop! Jangan main paranormal-paranormalan lagi. Aku muak. Aku mau kamu jadi Chita manusia biasa saja!”

”Ya. Tapi kamu akan ke Jakarta.”

Ami melotot.

”Nantang taruhan ini?”

”Boleh!”

”Kalau aku tidak ke Jakarta, kamu berhenti main sok paranormal. Kalau dilanggar, semua tikus di rumahmu mati!”

Chita ketawa.

”Bagus kalau rumahku berhenti jadi sarang tikus! Tapi kamu pasti ke Situ Gintung Jakarta, minimal pikiranmu sudah di situ!”

Ami mengeluarkan amplop dari tasnya.

”Nih lihat. Duit ini akan aku kembalikan sama bapakku. Ngapaian mesti ke Jakarta, di koran juga jelas. Tragedi Situ Gintung terjadi karena waduk air itu kurang diurus. Yang bertanggung jawab lebih sibuk ngurus kepentingannya sendiri. Apalagi zaman pemilu seperti sekarang. Semua berjuang mempertahankan kursi, negara ditinggal, rakyat dilupakan. Tapi masyarakat juga bandel. Merdeka diartikan boleh nekat mendirikan rumah di radius yang mestinya diamankan untuk menjaga kelestarian tanggul. Jelas semua salah!. Kalau mau tahu lebih jauh, tinggal buka internet. Tragedi Situ Gintung itu sama dengan semua tragedi yang lain, sinergi dari kealpaan, pelanggaran dan ketidakpedulian!”

Malam hari Ami langsung mengembalikan lima juta itu pada bapaknya. Amat manggut-manggut saja mendengar keputusan Ami.

”Kalau begitu Ami, kalau kamu tidak mau berangkat ke Situ Gintung, bagaimana lima juta ini disumbangkan saja lewat posko kepada para korban tragedi Situ Gintung?”

”Untuk apa?”

”Ya sebagai tanda solidaritas!”

”Masak Bapak yang hanya punya simpenen lima juta yang harus bersolidaritas? Bagaimana yang punya lima milyar atau lima triliun?”

Amat berpikir.

”Ya mereka tak usah menyumbang, mereka sudah terlalu repot ngurus duit yang begitu banyak.”

”Jadi rakyat negeri ini akan dirawat oleh orang-orang miskin seperti kita?”

”Siapa bilang kita miskin Ami? Bapak punya lima juta dan Bapak rela menyumbang. Kita tidak miskin. Kita bahkan sangat kaya. Yang punya lima miliar juga tak berani menyumbang. Ya tidak?”

Ami mulai panas.

”Bapak tidak usah menyindir di telinga Ami. Berteriak di dasar hati mereka orang-orang kaya itu juga tak akan mereka pedulikan. Mereka itu pedagang, memang tugas sucinya adalah menggandakan duit. Untung banyak saja bagi mereka tidak cukup, kalau masih ada orang lain yang untungnya lebih banyak. Kita sekarang hidup di dalam pasar yang membuat kita semua jadi kambing perahan, Pak. Kita mesti berontak!”

”Jangan begitu Ami. Tidak semua orang kaya itu busuk!”

”Busuk semua!”

”Kamu salah!”

”Coba Bapak sebut satu saja, mana orang kaya yang tidak busuk? Kalau mereka baik bagaimana bisa ngumpulin duit!”

”Kamu tidak tahu?”

”Nggak!”

”Kamu nggak sadar?”

”Nggak!”

Amat menatap Ami, lalu menyentuh kepala anaknya.

”Kita orang kaya Ami. Kita tidak ikut digerus oleh bencana itu. Itu kekayaan yang tidak ternilai. Situ Gintung itu sebuah kemalangan yang mengingatkan bahwa kamu orang kaya. Orang yang masih mau memikirkan orang lain yang kesusahan, padahal kamu juga kekurangan!”

Ami tertawa.

”Itu filsafat Pak! Jangan dicampur aduk! Bapak jangan pikir Bapak akan masuk surga hanya karena menyumbang lima juta yang sudah Bapak tabung selama 3 tahun untuk bisa membelikan Ibu hadiah pernikahan perak! Biar Ami serahkan uang ini pada Ibu saja!”

Ami lalu merebut amplop itu kembali. Amat tak sempat mencegah. Ami langsung mencari ibunya yang sedang ngobrol di tetangga. Amat juga tak berusaha untuk menyusul. Ia masih terkejut sendiri oleh apa yang barusan dikatakan.

”Jadi aku ini diam-diam orang kaya juga,” bisik Amat menikmati dirinya.

Tak lama muncul Bu Amat dan Ami.

”Jadi ini tabungan Bapak?” tanya Bu Amat mendamprat sengit.

Amat tak menjawab.

”Bapak sekarang kok sukanya ngumpet-ngumpet begini sih?! Pakai nyumbang orang lima juta lagi. Keenakan yang mestinya tanggung jawab dong! Lha dulu waktu adik ipar sendiri kesulitan sampai jual mobil segala, kenapa hanya nyumbang doa? Ini terlalu, Pak!”

Tiba-tiba Bu Amat menyodorkan amplop uang itu ke tangan Amat. Lalu masuk ke kamar sambil menghapus air mata yang bercucuran. Entah teringat pada penderitaan adik yang rumahnya hampir disita karena tak mampu mengembalikan kredit dari bank. Atau karena merasa dibohongi oleh suami yang selalu mengaku tak punya uang, padahal di situ ada lima juta.

Ami baru sadar, ia sudah membawa persoalan. Ia mengerling Amat dengan perasaan menyesal.

”Sori, Pak. Kirain Ibu akan senang. Malah jadi masalah!”

Amat mengangguk.

”Sudah kamu ke kampus saja. Nanti semua beres.”

Ami mendekati Amat.

”Sudah Ami, kamu berangkat saja.”

Ami menunjuk ke amplop uang di tangan Amat.

”Terus itu mau diapain?”

Amat berpikir.

”Kalau Bapak mau menyumbangkan ke Situ Gintung, Ami akan bantu pertangungjawabannya ke Ibu. Tapi kalau Bapak kembali menyimpannya sebab itu ditabung untuk Ibu, Ami juga mendukung. Niat menyumbang itu saja sudah cukup. Bantuan untuk Situ Gintung tak mungkin berkurang hanya karena Bapak menarik lima juta, karena niat Bapak untuk berbuat baik itu jauh lebih besar. Itu yang sebenarnya lebih diperlukan. Orang yang menyumbang uang, habis menyumbang uang sudah selesai, padahal persoalannya masih panjang. Orang yang memberikan simpati akan terus mengikuti tragedi itu sampai tuntas.”

Amat mengangguk.

”Betul. Bagus Ami. Pikiranmu luhur. Nanti akan Bapak sampaikan itu.”

Ami tercengang.

”Apa?”

”Ya. Akan Bapak sampaikan pada orang kaya yang tidak mau disebut namanya itu, nanti waktu mengembalikannya.” ***

Jakarta 2 April 09

Catatan:

Honor cerpen ini disumbangkan untuk korban tragedi Situ Gintung