Selasa, 28 April 2009

cerpen senyuman kampanye

Senyuman Kampanye

Cerpen Maria Magdalena Bhoernomo Silakan Simak!
Dimuat di Seputar Indonesia Silakan Kunjungi Situsnya! 04/05/2009 Telah Disimak 204 kali

Pada pemilu tahun ini, Ning Ayu menjadi caleg dari sebuah partai baru.Sebagai seorang perawan yang sudah berkepala empat, kampanye dirinya sebagai caleg akan dimanfaatkan pula untuk mendapatkan belahan jiwa.

Maka, kampanye baginya harus serius dibanding kampanye yang dilakukan caleg-caleg lain. Agar sukses, Ning Ayu merasa perlu meminta bantuan paranormal meskipun ia sarjana ekonomi. Kebetulan, di daerahnya ada seorang paranormal, Eyang Bowo, yang dikenal luas memiliki kemampuan supernatural seperti ilmu pelet massal.

Ning Ayu teringat cerita mistik tentang riwayat asal-usul ilmu pelet massal yang kini dimiliki Eyang Bowo. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, ilmu pelet massal sangat hebat karena bisa digunakan untuk menebar pesona sehingga banyak rakyat akan jatuh cinta dan bahkan tergila-gila.

Konon, menurut cerita dari mulut ke mulut, raja-raja di Jawa dan kerabatnya mewarisi ilmu pelet massal dari Ken Arok. Siapa saja yang memiliki ilmu pelet massal pasti akan menjadi penguasa. Banyak orang Jawa percaya bahwa ilmu pelet massal memang selalu hebat sepanjang zaman karena dibuat oleh Ratu Laut Selatan yang dipercaya menguasai alam gaib.

Ilmu pelet massal pertama kali diberikan oleh Ratu Laut Selatan kepada Ken Arok untuk membangun kerajaan besar di Jawa. Eyang Bowo dipercaya memiliki ilmu pelet massal. Tapi, karena Eyang Bowo tidak berminat menjadi penguasa, lantas ia menjadi paranormal. Kemudian, setiap menjelang pilkades, pilkada, pemilu, dan pilpres, banyak orang mendatangi Eyang Bowo untuk meminta berkah ilmu pelet massal.
***

Siang itu, Ning Ayu mendatangi rumah Eyang Bowo yang berada di sebuah kampung di lereng gunung. Ning Ayu sengaja datang sendirian agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Baginya, meminta bantuan paranormal harus dirahasiakan karena menyangkut urusan politik dan urusan jodoh. Setibanya di rumah Eyang Bowo, hati Ning Ayu sangat lega.

Di sana tidak ada tamu lain yang datang dengan tujuan yang sama seperti dirinya. Ning Ayu menduga, banyak caleg yang datang ke rumah Eyang Bowo pada malam hari agar tidak tepergok lawan politiknya. ”Saya sowan kemari mau minta tolong kepada Eyang Bowo.Tolong beri saya restu dan jimat ilmu pelet massal agar semua rakyat memilih saya dan ada salah satu pria baikbaik yang bersedia menikahi saya,” tutur Ning Ayu setelah memperkenalkan dirinya sebagai caleg dan masih lajang.

Eyang Bowo duduk bersila di atas karpet hitam di ruang tamu rumahnya yang berlantai tanah dan berdinding kayu kuno.Eyang Bowo berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala hitam. Ia tampak sangat berwibawa sebagaimana umumnya penampilan paranormal. Eyang Bowo menatap wajah Ning Ayu seksama.Laki-laki tua itu sekilas tampak terpesona.

Ning Ayu menundukkan wajah ketika mata Eyang Bowo menatapnya tajam-tajam. Rasanya takut bertatapan dengan laki-laki tua yang sakti berilmu pelet massal yang sudah terkenal itu. ”Kamu hanya butuh satu modal untuk menarik dukungan banyak rakyat dan menarik hati seorang pria,” ujar Eyang sambil tetap menatap tajam-tajam wajah sang tamu.

Entah pikiran dan perasaan apa yang sedang berlintasan di dalam kepala dan dada laki-laki tua itu. Sesekali napas laki-laki tua itu ditarik panjang-panjang,seperti ada perasaan tertentu yang mengganjal di dalam rongga dadanya. ”Modal apa yang harus saya sediakan untuk bisa menang dan mendapatkan jodoh, Eyang?” tanya Ning Ayu tak sabar.

”Tersenyum lebar, itulah modalmu. Jadi,mulai sekarang kamu harus selalu tersenyum lebar kepada semua orang.” Ning Ayu tiba-tiba seperti mendapatkan teguran keras sebab selama ini dirinya memang cenderung pendiam dan pemalu dan tak suka memperlihatkan senyuman lebar. Sikap pendiam dan pemalu yang sejak kecil dimiliki Ning Ayu bisa jadi karena dua gigi besar yang agak menonjol.

Jika Ning Ayu tersenyum,dua buah gigi besar itu akan terlihat makin menonjol sehingga di mata siapapun yang memandangnya akan mendapatkan kesan sama: Ning Ayu memang bergigi tonggos. Sebagaimana umumnya perempuan bergigi tonggos memang selalu bersikap pendiam dan pemalu, jarang tersenyum kepada siapapun.

”Percayalah, kalau kamu tersenyum lebar kepada semua orang, akan membuat mereka terpesona dan kemudian bersedia memilihmu. Di antara mereka pasti akan ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu lalu mengajak menikah.

”Tiba-tiba Ning Ayu mengangkat wajahnya sambil tersenyum lebar kepada Eyang Bowo. Sesaat keduanya berpandangan dan sama-sama tersenyum lebar. ”Ya, tersenyumlah yang lebar seperti ini kepada semua orang. Pasti kamu akan berhasil meraih suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik. Sekarang silakan pulang. Aku mau istirahat sebentar. Biasanya mulai sore hingga menjelang fajar banyak tamu berdatangan.”

Ning Ayu segera meletakkan sebuah amplop berisi selembar uang seratus ribu rupiah di hadapan Eyang Bowo. Kemudian menjabat tangan laki-laki tua yang masih tampak perkasa itu.
***

Sepanjang perjalanan dari rumah Eyang, Ning Ayu selalu tersenyum. Ingin dirinya mematuhi perintah Eyang Bowo, meski hatinya masih saja menyimpan rasa malu gara-gara bergigi tonggos. Betapa dirinya menyadari pasti akan terlihat lebih jelas tonggosnya kalau sedang tersenyum lebarlebar. Tapi, demi cita-citanya meraih suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik, Ning Ayu akan selalu tersenyum lebar kepada siapapun.

Setibanya di rumah, karena terus menerus tersenyum lebarlebar, Ning Ayu mendapat teguran ibunya. ”Kamu jangan terlalu mengumbar senyuman seperti itu.” Teguran ibunya itu ditanggapi Ning Ayu dengan tersenyum lebar. ”Modal saya satu-satunya untuk menarik hati rakyat adalah senyuman, Bu.Terus terang,tadi saya barusan bertemu Eyang Bowo. Beliau menyarankan agar saya selalu tersenyum kepada semua orang kalau ingin memperoleh suara terbanyak dan mendapatkan jodoh yang baik,” tuturnya jujur.

Ning Ayu memang ingin selalu bersikap jujur kepada ibunya. Ibunya juga selalu berkata jujur kepadanya. ”Ya, senyuman memang bisa menjadi modal kampanye yang paling hebat.Tapi, rasanya kamu tidak perlu terlalu mengumbar senyuman kepada semua orang.” Ning Ayu tersipu.

”Ibu pasti ingin mengatakan bahwa saya adalah gadis tonggos,bukan?” Ibunya mengangguk. ”Ya, kenyataannya kamu memang bergigi tonggos, dan karena itu jangan mengumbar senyuman kepada semua orang.Kalau memang kamu harus tersenyum,tersenyumlah sekilas saja agar lebih menarik. Jangan biarkan banyak orang bebas memperhatikan gigimu yang tonggos itu,”tutur ibunya.

Sebagai orangtua, ibunya sedikit kecewa memiliki anak gadis bergigi tonggos.Kalau boleh memilih, tentu akan jauh lebih senang punya anak gadis bergigi apik sehingga jika tersenyum akan terlihat sangat manis. Ibunya paling tidak suka melihatnya tersenyum lebar-lebar seolah-olah sengaja mau memamerkan giginya yang tonggos itu.

”Demi meraih kemenangan pemilu,saya akan selalu tersenyum lebar kepada semua orang, sebagaimana yang telah disarankan oleh Eyang Bowo.” Ning Ayu bersikeras untuk mengabaikan nasihat ibunya.Lalu, ibunya bersikap masa bodoh.Terserah Ning Ayu untuk selalu tersenyum lebar kepada semua orang, kalau memang itu dianggap sebagai strategi jitu untuk menarik simpati banyak rakyat dan mencari jodoh.

Ning Ayu kemudian mendatangi percetakan terdekat untuk mencetak gambarnya berukuran besar-besar yang akan dipasang sebagai spanduk dan baliho di sejumlah ruang publik dalam rangka kampanye pemilu. Ning Ayu sengaja memilih salah satu fotonya yang paling tampak ceria dengan ekspresi tersenyum lebar-lebar.

Untuk mencetak gambarnya yang besar-besar itu,Ning Ayu rela berutang kepada bank dengan agunan sertifikat rumah yang masih atas nama ibunya. Ibunya terpaksa mendukungnya agar tidak terus-menerus menjadi pengangguran dan perawan tua. Biasanya, seorang ibu akan rela berkorban demi kesuksesan anaknya.

Ning Ayu adalah putri tunggal sehingga ibunya sudah lama ingin punya anak mantu dan punya cucu. Sepekan kemudian, gambargambar Ning Ayu yang tersenyum lebar-lebar itu sudah terpampang sebagai spanduk dan baliho di banyak tempat terbuka.Setiap ada warga yang memandang gambar Ning Ayu pasti akan tersenyum geli, seperti melihat badut yang lucu.

Lalu, beberapa hari kemudian, gambar caleg-caleg lain bermunculan, bersaing dengan gambar Ning Ayu.Anehnya,semua gambar caleg lain juga lucu-lucu karena memperlihatkan senyuman lebarlebar seperti sengaja berlombalomba unjuk gigi. Setiap sore, Ning Ayu sengaja berkeliling kota dengan mengendarai sepeda motor dan memakai helm berkaca gelap.

Ning Ayu ingin mengetahui reaksi warga terhadap gambarnya dan gambar-gambar caleg lain yang terpajang di sejumlah ruang publik. Di dekat perempatan jalan, ketika lampu merah menyala, Ning Ayu menghentikan sepeda motornya. Di sudut perempatan itu ada sekelompok pemuda sedang berdiskusi tentang gambargambar caleg yang dipajang sebagai baliho dan spanduk.

Ada yang berkata keras memuji-muji gambar Ning Ayu yang dianggap sebagai caleg bergigi paling tonggos. ”Pokoknya, Ning Ayu yang paling lucu. Setiap melihat gambarnya, aku pasti selalu geli. Pernah aku tertawa sendirian di rumah gara-gara teringat gambar Ning Ayu. Lalu orangtua dan saudaraku kaget dan mengira aku mulai gila. Lucu sekali.”

”Kabarnya Ning Ayu masih lajang,” kata salah seorang pemuda. ”Ya, Ning Ayu memang masih lajang. Memangnya kamu mau menjadi suaminya?” timpal pemuda yang lain. ”Ya, kalau Ning Ayu berhasil meraih suara terbanyak, aku mau menikah dengannya!” ”Ya, rasanya pasti menyenangkan jika bisa menikah dengan anggota wakil rakyat yang bergaji besar dan mendapat banyak sekali tunjangan dan berbagai fasilitas dari negara.

”Ning Ayu menahan tawa mendengar kata-kata pemuda-pemuda yang sedang membincangkan tentang dirinya. Andai saja Ning Ayu tidak memakai helm berkaca gelap, mereka pasti melihatnya dan bisa jadi akan tertawa bersama karena orang yang sedang diperbincangkan ternyata ikut mendengarkannya.
***

Sehabis pemilu, Ning Ayu dirundung kecewa karena gagal meraih suara terbanyak. Meski demikian, Ning Ayu tetap selalu tersenyum kepada semua orang.Baginya, senyuman harus selalu diumbar untuk berkampanye bagi dirinya agar segera dipilih oleh seorang pria untuk menjadi istri. Bertahun-tahun Ning Ayu selalu tersenyum lebar kepada semua orang.

Ketika ibunya sakit, Ning Ayu tetap tersenyum lebar kepada semua tetangga yang membesuk. Ketika ibunya wafat, Ning Ayu bahkan tetap saja tersenyum lebar-lebar kepada semua pelayat. ”Rasanya ada yang tak beres dengan Ning Ayu,deh.Ibunya wafat kok malah tersenyum-senyum saja,” bisik seorang tetangga kepada tetangga yang lain, sepulang melayat.

”Ya, betul. Ning Ayu memang tampak aneh. Jangan-jangan Ning Ayu sudah gila sehingga selalu tersenyum lebar pada saat sedang berduka cita.” ”Kasihan sekali Ning Ayu, kalau terus menerus tersenyum lebar...” ***
Griya Pena Kudus,2009