Minggu, 26 April 2009

naskah drama "MIMPI"

MIMPI (NASKAH OLEH: M. ZUHDI – EGO)

ADEGAN I
Suami : aku gagal (gelisah, jengkel, marah, istri masuk hanya mengamati). Aku kira aku ini orang sukses, nyatanya ketika ada pengakatan baru yang dipilih sebagai kepala bagian adalah orang lain. Aku marah sekali. Tapi setelah aku merenungkan, memang aku tidak memenuhi syarat sebgai kepala bagian. Aku sudah keliru menilai diriku. Itu Cuma mimpi. Ini memalukan bahkan tidak hanya pantas menjadi kepala bagian, memegang jabatanku sekarangpun rasanya sudah dikatrol., mungkin mereka kasihan saja. Aku malu, akhirnya aku mengambil keputusan, aku mengajukan permohonan berhenti.
Istri : Hah…!! (terkejut, memekik) kamu egois! Kamu semestinya mengajak kita berunding, sebelum memutuskan sesuatu. Sekarang, kita semua harus menjadi korban kegagahan kamu yang konyol itu.
Suami : Maafkan aku.
Istri : Aku paham, itu masalah harga diri seorang lelaki, tapi rumah tangga tidak cukup ditegakkan dengan harga diri.
Suami : Memang kelihatannya bodoh dan tolol ketika kita membicarakan masalah moral dan harga diri saat ini. Sementara orang berlomba-lomba menumpuk kekayaan, memburu rejeki dan memperenak hidup. Tapi kalau kita tidak memulai sekarang, menegakkan harga diri kita, kita akan selamanya menjadi manusia tertindas. Apa gunanya kita berlimpah uang, kalau perasaan kita tidak tentram karena kita merasa melacurkan diri kita. Berhenti adalah jalan yang terbaik, daripada tersiksa.
Istri : Bekerja itu bukan penyiksaan! Itu salah! Itu tuduhan orang yang malas! Kamu mengaku saja terus terang, kamu sudah dipengaruhi oleh teman-teman kamu petualang-petualang yang tak tanggung jawab itu. Kamu sudah sesat. Tak bisa! Pokoknya kamu harus masuk kantor besok dan mencabut pernyataanmu yang konyol itu. Minta maaf kepada pak Direktur. Kalau kamu tidak mau, aku yang akan datang ke kantor dan meminta surat permohonan itu dibatalkan!
Suami : Tidak bisa. Mau ditaruh mana mukaku. Aku sudah membuat keputusan dan itu harus aku pertanggung jawaban. Tidak mungkin aku menjilat ludahku sendiri.
Istri : Ini bukan masalah ludah, keluarga memerlukan biaya kebutuhan hidup yang t erus menanjak dan ongkos pendidikan anak-anak.
Suami : Aku tahu. Tapi harga diriku juga penting. Bagaimana kalau teman-teman sekantor tahu, “eh pak Nadi yang telah mengajukan surat penguduran diri, kok sekarang dicabut lagi?” Betapa malunya aku dijadiklan junjingan orang sekantor.
Istri : Sekarang baru berfikir malu, apa kamu tidak berfikir ke depan. Bagaimana nanti kita mendapatkan uang. Kita tidak makan harga diri Mas…!
Suami : pokoknya aku tidak mau mencabut surat permohonan pengunduran diriku. (anak yang sudah mengamati masuk)
Anak : Bapak kurang bijaksana bapak kurang memikirkan akibatnya pada cita-cita kami. Kalau bapak berhenti bekerja otomatis pendidikan saya dan adik-adik akan terlantar. Bapak senang karena emosi sudah tersalurkan. Tapi kami menderita seumur hidup oleh keputusan yang sepihak itu. Apa sih motivasi bapak yang sebenarnya? Saya khawatir ini karena desakan pihak III. Apakah ada wanita lain pak!
Suami : Kamu jangan kurang ajar! Kamu tidak boleh bicara begitu pada ayah kamu! Aku sudah mencoba menegakkan harga diri kita. Kamu jangan berfikir macam-macam.
Istri : Apa artinya harga diri kalau kita tidak bisa makan?
Suami : Siapa bilang kita tidak bisa makan hanya karena aku berhenti kerja? Ingat Pak Wo yang berhenti bekerja hanya karena mau dagang gamping, sekarang ia jadi juragan gamping terkaya dikampungnya. Aku yakin dan berjanji segera cari pekerjaan baru, aku percaya setiap orang memiliki rejeki. Aku tahu langkah yang berani itu menimbulkan resiko yang berat. Itu normal. Aku bisa tukar pekerjaan. Dengan pengalaman itu aku akan mendapatkan tempat kerja yang lebih mentolerir haraga dirikuy. Harga diri kita semua. Kita tidak perlu ikuti memikul dosa konglomerat.
Anak : memikul dosa bagaimana pak?
Suami : yang paling menyebabkan aku ingin berhenti, adalah karena kantorku orang-orangnya sudah bobrok, bukan hanya merampok uang masyarakat tapi juga uang Negara. Aku tak mau keluarga bergantung hidup dari perusahaan yang penuh dosa. Daripada jadi kaki tangan koruptor lebih baik aku tidak makan kalau perlu mati kelaparan. Aku berhenti karena panggilan hati nurani untuk menyelamatkan kehormatan keluarga.
Istri : Tapi kenapa harus mas yang berhenti, toh bukan mas yang korupsi?
Suami : Karena aku cinta kalian. Aku tidak mau melacurkan diriku berlarut-larut di kantor yang penuh keserakahan dan penindasan. Lebih baik tetap jadi orang kecil daripada seumur hidup dosa.
Istri : Aku tetap tidak mengerti jalan berfikirmu, mas
Suami : Keputusanku sudah bulat aku berhenti.
Istri : Tidak bisa! Kamu tidak boleh berhenti. (marah, membanting kursi lalu masuk kedalam kamar. Mulai terdengar isak tangis)
Diikuti dengan anak masuk kedalam tanpa peduli sama bapak, suami diam sejenak lalu keluar rumah. Suasana sunyi musik sedih.


ADEGAN II
Istri masuk kedalam ruangan diam, membetulkan kursi yang berantakan, duduk terdiam. Suami masuk mendekati Istri.
Suami : Aku minta maaf, sebenarnya aku tidak pernah mengajukan surat berhenti. Aku dipecat.
Istri : Aku tahu mas,…aku tahu. (sambil mengengam tangan suami)
SELESAI