Minggu, 26 April 2009

Siapa yang Waras?

Cerpen Gunawan Amirbad Daiya Silakan Simak!
Dimuat di Seputar Indonesia Silakan Kunjungi Situsnya! 04/19/2009 Telah Disimak 168 kali

Keributan di depan rumah memaksa mata belakangan ini terbuka.Bising suara terdengar,tapi tak jelas perkataan apa yang terlontar.Beberapa vokal di antaranya tak asing di pendengaran.

Kata telingaku, di situ ada suara Malasa—manusia yang dicap warga sekitar sebagai orang tidak waras. Ia terdengar menerangkan sesuatu, memperjelas hal yang dipertanyakan orang-orang yang berkerumun.Entah siapa di depannya, di sampingnya, di belakangnya, aku tak tahu pasti, sebab telinga ini sekedar bertugas untuk menyampaikan suara saja. Dipikir-pikir lebih baik aku keluar kamar.

Dari pintu tempat indekos, tepat berhadapan matahari pagi dari arah timur.Angin pagi di kota tak sesejuk di kampung asal kelahiranku. Di sini mata mentok pada bangunan kampus UMI. Dari belakang, penglihatan terbentur pada tembok Graha Fajar.Dari samping, Pantat Astra lebih tebal menutupi ruang gerak pandang.Tak ada yang lebih indah dari suasana kampung saat pagi menawarkan hamparan sawah menghijau, pepohonan pisang di antara rimbunnya tumbuhan kakao dan kelapa.

Maka,tak salah bila mata warga kota lebih cepat rabun ketimbang nenek dari ayahku yang berumur 78 tahun masih bisa memasukkan benang jahit ke lubang jarum. Berdiri di mulut pintu mengenakan celana kolor, angin pagi itu sudah menawarkan bau kecut asap kendaraan, sementara warung Bu Las dari jarak 3 meter tempatku melongo membiuskan aroma pengundang rasa lapar. Mungkin tumisan, adonan, jalangkote, bakwan, pisang goreng, atau bau tahi dari pembuangan rumah Pak Rudi.

Pembuangan itu memang sudah keterlaluan.Atau tempat indekosku yang tak tahu tempat. Pantat rumah Pak Rudi hanya terpisah oleh saluran pembuangan dengan jendela kamarku. Rumahnya menghadap ke utara pada gedung Universitas Muslim Indonesia, indekosku di belakangi bokong Graha Fajar berkiblat ke timur. Kedekatan jarak itu membuat kuping ini jadi penggosip. Kerap aku dengar cekcok mereka, tentang Pak Rudi yang beranak dua sampai kini belum menemukan kerjaan tetap.

Tentang anak-anaknya yang sebentar lagi memasuki sekolah. Dan tentang utang nasi di warung Bu Las yang belum terlunaskan. Dengan rasa penasaran, sekalipun bertelanjang dada aku dekati garis kerumunan di depan rumah Pak RT. Benar adanya, Malasa tengah didudukkan dalam lingkar sidang. Ia dikerumuni istri-istri dan suamisuami, anak-anak, serta cucu orang. Entah masalah apa? Tak terlihat kesedihan di wajah Malasa, bukan pula gembira, hanya saja sedikit tegang dan bingung.

Ya, seperti sedang mengolah kata, atau mencoba menyusun suatu kejadian, seperti kata orang bahwa Malasa sukar untuk mengingat sesuatu karena tidak waras. Aku tak begitu mengenal Malasa. Kata orang-orang sekitar, semenjak ditinggal pergi istrinya ia tak lagi stabil.Ia sering bertingkah aneh,kerap bicara sendiri,tak pernah mandi,bau badannya asem.Pakaiannya pun lusuh dan terkoyakkoyak di sana-sini. Rambutnya kurang lebih sembilan sentimeter tidak tertata rapi, kusut, kering, kemerah-merahan, beberapa lembar telah memutih.

Ringkasnya, ia memang pantas menyandang kata ”gila” dari orang-orang, termasuk aku bila saja tak pernah sebelumnya ia menawariku senyuman di suatu hari dan pagi yang lain. Pagi itu, aku jumpai dia duduk bersila di bawah sebuah pohon kenari yang rindang.Kedua tangannya bertaut di depan dada,tampak kayak seorang biksu di hadapan patung Buddha, khusyuk.

Kedua bibirnya selang seling menyambangi satu sama lain dalam tempo cepat dan bentuk kemonyongan yang berbeda-beda.Kuberanikan diri mendekatinya. Aku masih ingat kala itu awal Maret 2008— musim kemarau.Walaupun agak ragu, namun aku telah sampai di sampingnya. Begitu dekat, sehingga ia hanya membutuhkan jarum jahit untuk menusuk mataku.Biar dekat, tapi tak kutangkap sebiji kata pun keluar dari mulutnya. Berkomat-kamit tanpa suara.

Atau kata-katanya memang diperuntukkan buat Tuhan dan dirinya sendiri,bukan untuk orang lain termasuk aku, bukan pula diperdengarkan agar dikasihani. Jarak yang terlalu dekat itu membuat lubang hidung bangirku kempaskempis, agaknya kucari satu bau yang meyakinkanku menarik kesimpulan bahwa Malasa memang tak pernah mandi,seperti kehadiran kerumunan lalat yang berdengung memperjelas sudah.Dan kehadiranku ternyata mengganggu meditasinya.

”Aku telah gila. Untuk apa mandi,berdandan rapi,bila tak ada yang menciumi dan memperhatikan.Jamila pun pergi. Tahukah kau,ia hanya menitipkan lembar-lembar kenangan di malam- malam kesunyian. Tapi, aku tak sakit…” kata Malasa kala itu, sebagai awal kisah dan menumpahkan kepiluan hati selama lima jam bersama diriku seorang. Ya, aku ingat kejadian hari itu. Dan pagi ini awal Maret 2009,pada musim hujan yang menjengkelkan.

Malasa berada di tengah kerumunan tetangga.Di sana,Bu Lasmi yang bawel bertutur menggebugebu melontarkan beberapa kata umpatan pendek, tapi kerap diulang- ulang. ”Dasar gila.Tidak waras.Orang gila…” Pak RT juga di sana,duduk berdampingan dengan Malasa.Pak RT yang tidak kuketahui namanya, semenjak tinggal di kawasan ini tak sekalipun aku berurusan dengannya. Sesekali ia melepaskan tawa, seumpama kelakuan Malasa memang patut ditertawakan.

Tidak ketinggalan Pak Rudi hadir menjubel menggendong anaknya yang bungsu. Ia selalu mengiringi tawa Pak RT, tampak ia sebagai penjilat.Sudah lazim,sekalipun sekadar tawa, bila yang melakukannya orang berkedudukan maka sewajarnya warga ikut serta. Ya, sebagian dari pemikiranku itu mungkin benar.Dan Malasa pun kadang menyertai tawa orangorang, atau ia telah sadar jika perilakunya mengundang tawa. Namun tawa itu lekas lenyap berganti mimik muka yang kaget dan penasaran. Malasa membuka bungkusan dari plastik yang ada di tangannya.

Lalu diikuti muka mencengangkan dari para hadirin, setidaktidaknya mulut mereka pada menganga. Sementara orang-orang terhipnotis oleh cerita Malasa,dan lantas terburai ketika aku muncul dan mempertanyakan masalah. Dan dapat aku susun penuturan Pak Rudi seperti ini, ”Hanya Malasa yang biasa mondar-mandir di jalan ini bila jam malam telah larut. Kira-kira jam dua malam tadi, Malasa menemukan sebuah kantong plastik yang berisikan segepok uang dan satu buah handphone.

Pagi ini ia mendatangi rumah Pak RT dan menanyakan perihal tersebut.” ”Sepertinya ia tak benar-benar gila.Apa ia bias mengerti duit dan handphone? Barang yang ia temukan juga masih utuh. Padahal, ia gila,mungkin saja barang temuan itu ia buang kembali atau ia serahkan sama anak-anak muda di sekitar sini. Tapi, itu tidak ia lakukan,” begitulah kata Pak Rudi, sedikit sinis, dan pikirannya miripmirip mulut ibu-ibu tukang gosip. Aku mengerti.

Dan penuturan itu pula terdengar oleh Malasa. Ia memperhatikanku. Seakan ia meminta sesuatu tanggapan, sekurang- kurangnya membantunya melepaskan diri.Bila ia mengingat kejadian setahun lalu, tentu ia sedikit bisa mempercayaiku.Biarpun kala itu aku hanya bisa mendengar, dan siapa sangka setelah itu aku selalu mendapatkan senyuman darinya,mungkin juga doa. ”Di mana barang itu, Malasa?” tanyaku.

Sekalipun aku tahu barang itu adalah kantong plastik yang ada di pangkuannya.Ia memperlihatkan, dibukanya kantong itu. Pak RT, Pak Rudi, Bu Las, orangtua yang lain,anak-anak,ikut melongo ke dalam kantong plastik, padahal mereka sudah melihat sebelumnya. Aku lihat lima ikat uang pecahan seratus ribu rupiah dan sebuah handphone seukuran remote televisi.perak warnanya. ”Handphone-nya aktif?” tanyaku. Entah pada siapa aku lontaran pertanyaan itu,sebab si pemegang barang itu, orang yang dicap gila.

Aku putar pandang dari Pak RT di ujung kiri, ke Pak Rudi di ujung kanan kerumunan. ”Mungkin tidak…” suara dari tengah kerumunan,entah siapa. ”Aktifkan,tentu pemilik punya akal untuk menghubungi,”kataku sembari menunjuk handphone yang ada di genggaman Malasa. ”Malasa tidak mau menyerahkan barang itu. Dia mengira kita akan mengambilnya,” tukas Bu Lasmi. Aku angkat kening,Malasa menatapku lekat.Tatapan itu mungkin mengungkapkan sesuatu.

Sesaat lamanya, orang-orang makin penuh sesak di beranda rumah Pak RT.Memang benar,berita penemuan Malasa telah diketahui masyarakat sekitar. Mereka datang berbondong- bondong, seperti saja akan ada pembagian raskin dan bantuan langsung tunai. Hal itu aku sadari, ketika kerumunan mulai memanaskan suhu ruangan.Benar kata orang, makin banyak kepala, makin rumit dicapai kesepakatan. Pendapat keramaian bersilangan, pro dan kontra tercipta di antara orang-orang yang hadir.

Ada yang menginginkan agar pemiliknya dihubungi. Tunggu sampai dihubungi pemilik.Tidak usah dihubungi. Ambil saja.Ada pihak yang mengumpat, ”Ambil saja, dasar gila…” Ya,saat ini,hal yang tak sepatutnya dikompromikan lantas ditimbang- timbang. Sampai-sampai menghujat. Pak RT berhasil meyakinkan Malasa. Handphone pun aktif. Berselang detik, barang itu berdering.Tak ada nama penelepon tertera dalam display, hanya nomor saja.

Tak ada pula yang berinisiatif untuk mengangkat telepon. Namun,mereka tak juga diam, semua bersuara. ”Angkat saja,”katanya. ”Tidak usah,”kata yang lain. Suara itu berulang-ulang menimbulkan keributan tanpa ampun. Telepon berdering untuk ketiga kalinya.Malasa yang berinisiatif sendiri.Ia menerima telepon. ”Halo…”sapanya. Orang yang berkerumun pun langsung terbungkam menyaksikan si gila terima telepon.

Disusul hening seketika. Malasa tampak sedikit tegang. Bibir dan tangan yang bergetaran. Telinga Malasa semakin merapat ke telepon, lalu kemudian mengangguk-angguk dan berkata,”Benar,aku menemukannya.” Seiring percakapan Malasa, bisik-bisik pun terdengar.Ada yang mengecap Malasa gila karena telah berterus terang. Bahkan ada yang menawarkan kerja sama dengan membagi rata hasil temuan itu.

Sebaliknya menganggap Malasa normal saja, karena tahu mana salah dan mana benar. Ah, aku pusing juga. Aku tinggalkan baris kerumunan itu,sebab Malasa pun tinggal menunggu kedatangan si pemilik barang.Sambil berpikir dalam senyum geli.Apa yang terjadi dengan kehidupan ini? Moral dan kewarasan telah terselip di mana? Malasa yang dicap gila karena prilakunya tak bersesuaian dengan norma kehidupan pada umumnya.

Malasa yang berpakaian compang-camping, sekali mandi dalam setahun, dan bertingkah aneh. Sementara orang yang merasa waras,berpenampilan cakep,mandi tiga kali sehari dan bertingkah lazim, tapi masih ada saja terbodohkan oleh nafsu.

Lantas, kewarasan itu ditimbang dari mana? Malasa mampu membedakan salah dan benar,meskipun dikatakan orang gila. Sementara ada orang yang menganggap diri waras, tapi berhasrat memakan jatah orang. Masa Allah!!! ***