Minggu, 26 April 2009

cerpen kota berduri

Kota Berduri

Cerpen Narudin Silakan Simak!
Dimuat di Sinar Harapan Silakan Kunjungi Situsnya! 04/18/2009 Telah Disimak 41 kali

Aku tak mau menyimpan terlalu lama duri dalam tubuhku. Disimpan terlalu lama hanya membuat tubuhku terasa sakit. Barangkali rasa sakit itu bukan benar-benar dalam dagingku, tapi dalam suatu tempat lain yang tak mampu kudefinisikan. Seperti kedip lampu-lampu ibu kota atau suara-suara TV di pagi hari, bagiku, adalah duri pada waktu itu. Seperti ibuku yang hendak memperkenalkanku kepada suasana ibu kota atau seperti keinginanku yang kuat untuk melihat-lihat gedung-gedung pencakar langit atau hanya sekadar untuk menonton film kartun dan film kungfu di TV berwarna saudaraku, sangat menggelisahkan. Tapi kini aku bebas berkeliaran di bawah lampu-lampu yang seperti bintang-bintang tersangkut benang-benang udara itu dan aku kini tidak lagi terlalu asyik saat menonton film kartun atau film kungfu terheboh sekali pun.

“Wah, banyak mobil bagus ya, Bu?”

“Iya, ini namanya Jakarta, Jang. Dulu saat kamu masih berumur tiga tahun pernah Ibu bawa ke sini,” kata Ibuku sambil menarik tanganku, berjalan melewati gang-gang becek. Sampah plastik dan bungkus makanan mengambang di atas genangan air kotor. Lalat-lalat hijau, gemuk-gemuk, beterbangan. Kebiasaan ibuku mengajarkan sopan santun kepadaku, aku praktikkan pada saat itu. Aku tersenyum dan membungkukkan badanku kepada orang-orang yang duduk di beranda rumah. Barangkali mereka nongkrong di depan toko atau warung. Tapi mereka hanya mencibir, memasang raut wajah yang lempang seolah angin lalu baru lewat.

“Ujang nanti bisa nonton film kungfu ya, Bu?”

“Kamu bisa nonton apa saja, Jang. Sudah jangan banyak ngomong dulu. Lihat, banyak mobil dan bus kota. Nanti kalau tidak hati-hati, kita bisa terlindas bannya yang gede-gede itu, lho.”

Ibuku mengelus rambutku sebelum menyeberang perempatan jalan Slipi yang dipadati kerumunan kendaraan roda empat dan roda dua. Aku tidak gentar sedikit pun dengan suara-suara kendaraan yang memekak telinga sebab entahlah barangkali yang mengemudikannya hanya mematuhi lampu merah tanpa menghargai pejalan kaki yang kepalanya kepanasan oleh terik matahari ibu kota. Aku menekan ujung kebaya ibuku yang kumal pada hidungku. Sukar rasanya menghela napas di jalan ibu kota. Sepotong lagu, ingat-ingat lupa, keluar dari mulutku:

Nih si Doel anak betawi asli, kerjaannye sembahyang mengaji.

“Bu, kalau si Doel rumahnya di mana? Apa dia masih hidup?”

“Mana ibu tahu. Sudah jangan banyak nanya. Sebentar lagi kita sampai.”

Rambut ibuku yang hitam kemerah-merahan masih tetap tidak memudarkan rona kecantikan yang melekat di wajahnya. Rambutnya terurai di pelipisnya, tertiup angin, menantang terik matahari. Ia melihat kaca-kaca mobil, bukan melihat para penumpang yang sedang memperhatikannya. Kaca-kaca mobil itu seperti berada di ujung langit. (Sedangkan aku sejak tadi melihat gumpalan awan yang tercerai-berai, melayang secara sederhana, seperti kapas ditusuk-tusuk paku, melalui kaca salah satu spion mobil yang terjebak. Macet.) Ia seakan hilang dan tak mengenal dirinya sebab terlalu jauh ia memandang. Di balik kebayanya yang lusuh, terselip kejujuran, seperti daun-daun kering yang terjepit celah-celah jendela warteg di pojok sana. Tangan kirinya menenteng setengah karung beras dari desa. Ia memikul sebundel pakaian di punggungnya. Wajahnya meringis, menahan beban.

Berkali-kali ia mencubit pipiku sebab aku hendak berlari, berteriak keras untuk memberi tahu langit ibu kota bahwa aku tengah berada di Jakarta. Melihat beban di punggung ibuku, aku teringat salah satu tetanggaku di desa, bernama Mbok Warti. Ia berjualan sayur-mayur, keliling desa. Sejak sinar matahari menerpa bumi, ia memulai mencari sesuap nasi, menjemput rezeki melalui kangkung, kacang panjang, mentimun, labu, dan daun singkong. Karena aku suka makan sayur, ibuku selalu membeli sayurannya dua atau tiga hari sekali.

“Berapa harga daun singkong ini satu ikat, Mbok?”

“Seribu empat ikat.”

“Kok, murah sekali, Mbok? Jual saja seribu dua ikat, biar Mbok dapat uang untuk makan.”

“Ah, kemarin juga Mbok jual dengan harga seribu tiga ikat, orang-orang enggak mau lagi beli, Neng Ratih.”

“Tapi Mbok menjualnya sampai habis, ‘kan?”

“Ya … kadang habis, kadang enggak. Tergantung mujur enggaknya nasib Mbok dari Tuhan.”

“Tapi makan Mbok bagaimana?”

“Ya … soal makan sih sama saja.”

Sisa-sisa nasi kuning masih melekat dalam sela-sela gigi Mbok Warti. Saat tertawa ia selalu membuka mulutnya lebar-lebar sehingga aku dapat melihat gigi-gigi gerahamnya kuning kecokelatan. Wajahnya terlihat ceria dalam kesendiriannya. Dalam kesepiannya. Sebab anak-cucunya telah tidak lagi menghiraukannya. Kerut-kerut kulit kepalanya yang tampak di antara beberapa helai uban tua tampak rapuh, berbintik putih. Semacam ketombe yang tidak mengenal langir. Kaki kanannya yang terbalut kain samping, sedikit di bawah lututnya, bengkok ke dalam. Ia menyeret kaki kanannya saat berjalan. Terus berjualan. Terus keliling desa.

Sebelum kami berangkat ke Jakarta, Mang Dora, salah seorang tetanggaku, yang rumahnya terletak seratus tujuh puluh langkah pendek dari rumahku, mampir ke rumahku. Ia masuk tanpa mengetuk pintu atau mengucapkan salam terlebih dahulu. Bola matanya jelalatan, menatap setengah karung beras dan sebundel pakaian yang bertengger di atas meja papan johar, yang posisinya agak miring empat puluh lima derajat dari sisi meja. Jumbai-jumbai karung yang diikat tali plastik menutupi bundel pakaian. Sudut bibirnya yang tertutup kumis tebal berdenyut setiap kali ia mulai berbicara. Kedua matanya yang menyala selalu tidak menatap mata orang yang sedang ia ajak berbicara. Ia lebih senang menatap jari-jari kakiku yang ujung kuku-kukunya penuh kotoran tanah atau membuang wajah ke samping sambil menyelipkan kata “puiiiiiiih”.

“Jadi, kau dan si Ujang jadi pergi ke Mamih Noni? Aku sudah bilang padanya bahwa kau dan si Ujang bersedia menjadi pembantu di sana. Ya … hitung-hitung kau balas budi setelah kematian suamimu setahun yang lalu saat tertimpa besi tulang rusuknya. Kau tahu, pada waktu itu aku sedang bekerja sebagai kuli bangunan bersama suamimu di apartemen barunya. Dia orang kaya. Tidak seperti kita-kita. Mau kau kasih makan apa si Ujang? Apa si Ujang enggak akan disekolahkan? Berapa umur kamu, Jang?” tanya Mang Dora sambil menepuk-nepuk daun pintu. Ujung jari kakinya dihentak-hentakkan ke atas ubin yang retak.

“Delapan tahun, Mang.”

“Kami akan berangkat sekarang, Mang. Sebab mau makan apa lagi kalau tidak usaha? Jadi buruh tani cuma capeknya saja. Hasilnya nol. Aku sudah tak tahan dihimpit hutang, Mang. Setelah Kang Barja meninggal, tak ada lagi yang membiayai kebutuhan sehari-hari kami,” kata ibuku dengan suara berat seperti berbicara dalam ember kosong yang terinjak sepatu.

“Ya … sudah. Tunggu apa lagi. Berangkat sana. ini ambil untuk menambah ongkos,” kata Mang Dora sambil menyodorkan tiga lembar uang sepuluh ribuan pada telapak tangan ibuku yang bergetar tak beraturan. Setelah itu, ia pergi tanpa sepatah kata sebagai tanda berakhirnya sebuah obrolan. Tangan kirinya meluruskan kaos dalamnya yang terpilin di atas pusarnya yang menonjol, sedikit berbulu. Sambil berjalan ia menyibakkan rambut keriting gondrongnya berkali-kali. Ia tersenyum masam kepada kami lalu lenyap, berubah menjadi batang pohon mangga besar dalam pandangan hampa mataku di balik pintu.

***

Sebuah rumah besar, seperti sebuah istana bagiku, menghadap sebuah taman hijau yang luas. Kolam ikan dengan air mancur yang keluar dari sebuah teko yang digenggam oleh kedua tangan patung wanita berambut panjang sangat menyejukkan. Aneka bunga berwarna ungu, merah, kuning, dan biru muda terlihat tabah, menemani ketenangan pancuran air kolam yang di dasarnya bergerak bebas ikan-ikan hias. Beberapa pohon cemara berdiri tegak di sudut teras rumah yang berkeramik gading tua. Jalan berkelok-kelok di taman itu menambah suasana terkesan artistik. Pintu rumah itu terbuat dari kayu jati, penuh ukiran Jepara. Awan di atas rumah tampak putih. Seolah terlalu suci untuk dinodai. Beberapa burung berkelebat di dekat kabel telepon yang sedikit terkelupas. Kami berdiri mematung di depan rumah besar itu - setelah pintu gerbang dibuka oleh seorang lelaki muda - saat pintu rumah dibuka oleh seorang wanita berumur empat puluhan. Ia mengenakan gaun sutera biru tua dengan renda pita merah melingkar pada bagian pinggang dan bahunya. Dua kalung emas, sebesar jari kelingking, melingkar di lehernya. Sepatunya berhak tinggi sehingga cara ia berjalan kurang alami. Rambutnya ikal, mengembang. Harum, menyengat. Di tengah pipi kirinya yang kuning terdapat tahi lalat sebesar biji kacang hijau. Tatapan matanya keras.

“Oh, kamu, Ratih. Aku nitip pesan ke si Dora agar kamu mau jadi pembantu di sini. Aku ingin kamu mengenal hidup sejati di kota. Hidup senanglah seperti orang lain … iya, ‘kan?”

Seorang anak laki-laki, putih-gemuk, berumur empat tahun, berlari dari belakang pintu yang terbuka sekitar satu meter. Ia melemparkan sebuah mobil-mobilan ke dadaku sambil tertawa, mengejek.

“Oh, Ratih, ini anakku yang bungsu. Jang, kamu bisa ajak main Bobi, ‘kan? Cepat ajak Bobi main sana. Anak kamu, si Ujang, sudah gede rupanya. Dulu waktu kamu dan si Barja masih hidup, kamu sempat ke sini, si Ujang baru berumur, ah … ah … aduh, berapa … tiga tahun, ya? Oh, ya sudah, kamu pergi ke dapur. Ingat, Rat, banyak kerja itu sama dengan banyak uang! Kamu ke Jakarta untuk cari duit, bukan?”

“Ba-ba-ba-ik, Mamih Noni,” kata ibuku ragu, seolah ada satu rahasia yang tertutup di antara mereka berdua —- untuk sementara. ***

Bandung, 31 Januari 2008