Selasa, 28 April 2009

cerpen lelaki terpuji itu

Lelaki Terpuji Itu

Cerpen Nelson Alwi Silakan Simak!
Dimuat di Jurnal Nasional Silakan Kunjungi Situsnya! 04/05/2009 Telah Disimak 278 kali

Dia bukan modin. Tapi sepengetahuan orang-orang, kepeduliannya pada musala di kompleks perumahan di mana kami bermukim, melebihi loyalitas seorang modin atau penjaga rumah ibadah mana pun.

Biasanya, antara pukul sembilan dan sepuluh pagi, dengan handuk kecil tersampir di pundak, dia sampai di musala. Tenang-tenang dia singkapkan pintu dan jendela rumah ibadah itu. Tenang-tenang pula dia buka gudang perkakas. Kemudian, ada-ada saja yang dia kerjakan—tergantung cuaca dan, mungkin juga, merupakan kebijakan atau kemauannya belaka.

Adakalanya dia memanjat ke atap musala, membersihkan berumbung yang dipenuhi dedaunan kering atau bebatuan kecil yang dilemparkan anak-anak, sekaligus memeriksa kalau-kalau ada genting yang bocor. Lain waktu orang-orang mungkin melihat dia meretas rerumputan yang menyemak di halaman depan, atau asyik menyiangi aneka tanaman yang memadati parak di sebelah kiri musala. Dan di lain kesempatan orang mungkin pula mendapati dia tengah menomboki lantai serta dinding tembok rumah ibadah itu, yang mengelupas, dengan adukan air-semen dan pasir.

Dan bagai punya pertalian batin dengan waktu, kurang lebih 15 atau 20 menit menjelang lohor, otomatis dia menghentikan aktivitasnya. Tenang-tenang dia berjalan ke bagian belakang musala dan, hanya kata sebagian orang, sebelum mandi atau cukup melap badan dengan handuk kecil yang dibasahi air dan berwudu, dia kuras jamban serta bak mandi terlebih dulu. “Kapan perlu saja,” katanya pada suatu kali, menanggapi seorang jemaah yang mencoba mengorek kebenaran cerita itu langsung dari dia. “Tidak enak perasaanku sembahyang andai segala sesuatu fasilitas musala belum rapi seperti sediakala.”

Baginya memang tidak ada waktu salat di musala yang terlewatkan. Saat hujan lebat sekalipun, dengan memakai payung dia tiba di musala. Membuka pintu dengan kunci duplikat yang diamanahkan pengurus kepadanya. Mengambil air sembahyang, lalu ke mihrab mengumandangkan azan.

Lepas salat lohor dia pulang. Mungkin cuma makan dan beristirahat barang beberapa jenak. Sebab tidak lama kemudian dia kembali muncul di musala. Dan sebelum atau seusai salat asar ada-ada pula yang dia kerjakan. Mengemocengi bendul jendela, mimbar serta perabotan lain, sekaligus merapikannya. Mengencangkan sakelar yang longgar sekrupnya dengan obeng. Memungut kemasan bekas makanan anak-anak serta sampah yang bertaburan di sekitar musala, menyatukan dengan rerumputan kering di halaman, lalu membakarnya.

Atau seperti pernah dipercakapkan Bimo dan kawan-kawannya, dia juga mencabuti paku dari papan bekas coran yang dia onggok di piring-piring emperan yang terlindung atap musala dengan tang atau kuku-kambing, meluruskan paku-paku itu dengan martil kecil, menyortirnya: panjang dua inci dia masukkan ke wadah berlabel 2”, panjang dua-setengah ditaruh di wadah dengan label 2,5” dan, begitu seterusnya. “Tak elok menyia-nyiakan barang yang masih bisa dimanfaatkan,” keceknya kepada anak-anak yang sesekali suka menggerombolinya.

Kira-kira pukul lima petang dia akan pulang pula ke rumahnya. Mungkin hanya mandi, bercengkrama dengan istri serta anak, atau boleh jadi turun tangan melaksanakan pekerjaan rumah-tangga. Tak tahulah. Pokoknya, menyongsong magrib dia kerap mengiringkan istrinya, dan kadang-kadang dia juga membawa serta putrinya, ke musala.

Selesai salat magrib berjemaah dia mendengarkan ceramah agama, sekiranya ada, dengan takzim. Atau, sembari merokok dia terlibat omong-omong dengan kaum bapak, menunggu waktu salat isya tiba. Dan, dia tidak akan beranjak dari musala sebelum jemaah terakhir meninggalkan rumah ibadah itu. Ya, selalu dia yang mematikan lampu musala di malam hari, menghidupkannya di subuh buta. Menyetel kaset pembacaan ayat suci, menyapu serta membenahi sajadah atau tempat sembahyang yang centang-perenang.

Pendek kata, dengan sendirinya orang-orang angkat tangan alias menaruh respek sangat besar kepadanya. Orang yang akan menjadi muazin, banyak. Orang yang mau diseraya membersihkan jamban atau tempat berwudu, ada. Orang yang akan digaji menjadi pegawai musala apalagi, bejibun. Tapi orang yang lillahitaala lagi habis-habisan mengorbankan waktu serta tenaga demi rumah ibadah dan lingkungan tempat tinggalnya, kemana akan dicari. Dan satu di antara orang yang susah dicari itu, adalah dia: Joumar.

***

Di samping kiri musala, dulu, ada tanah kosong 8x14 meter, yang dicadangkan untuk perluasan bangunan rumah ibadah itu. (Berhubung pengurus belum juga berhasil menghimpun dana pembangunan kendati sudah menyodorkan sekian banyak proposal kesana-kemari, maka lahan yang masih terlantar itu dia berdayakan dengan sebaik-baiknya). Dengan telaten dia garap tanah tak produktif itu, menjadikannya sebagai apotek hidup. Kesudahannya, selain jahe, kunyit, serai, lengkuas, setawar, sedingin, temu lawak, inai, bunga raya putih dan lain sebagainya, di lahan tergolong sempit itu juga ditemui bermacam-ragam tanaman seperti ruku-ruku, tapak liman, pepaya, nanas, pisang, tebu, labu siam, japan, pare, kacang panjang, ubi jalar, singkong, terong, tomat, kemumu dan cabe rawit.

Masuk akal jika kemudian ibu-ibu yang tinggal di kompleks perumahan di mana kami bermukim merasa seolah-olah menemukan dunia baru lagi tersendiri di musala itu. Mereka, secara langsung turut menikmati hasil jerih payah lelaki 54 tahun itu. Tanpa minta izin kepadanya atau pada pengurus musala, orang-orang leluasa saja mengambil apa yang diperlukan dari parak yang dia upayakan. Bahkan, ketika berserobok dengan dia yang sedang menyiangi tanaman atau meretas rerumputan di halaman depan, seorang ibu cukup berujar: “Minta kemumunya, ya, Pak.” Dan belum lagi dia menjawab atau menganggukkan kepala, ibu-ibu itu langsung menebas batang kemumu dengan pisau dapur—dan setelah itu, ibu-ibu tadi malah mengerat juga beberapa helai daun kunyit serta mencungkil sebingkah umbinya dari dalam tanah.

Biasanya, dia cuma tersenyum saja, sedikit. Atau kadang-kadang bertutur ramah: “Akan menggulai ayam tampaknya Ibu ini. Akan makan besar rupanya Bapak dan anak-anak hari ini….”

Ibu-ibu yang barangkali pemalu dan pendiam boleh jadi hanya tersipu atau mengulum senyum. Tetapi ibu-ibu yang curiahan dan agak lancung, terkadang, dengan spontan mengajaknya berandai-andai, atau mewawancarai lelaki separuh baya itu sepuas hati.

Konon dia melayani setiap lawan bicaranya dengan setulus hati, menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan polos. Dengan demikian, orang-orang pun jadi sangat mengenalnya, luar-dalam, nyaris seutuhnya.

Dua tahun lalu dia terkena program rasionalisasi di perusahaan tempatnya bekerja, yang berbuntut pemutusan hubungan kerja. Pada mulanya, lantaran merasa belum terlalu tua alias masih punya tenaga dan ingin tetap berusaha, dia mencoba mencari pekerjaan pengganti kesana-kemari, tetapi faktor usia selalu mengandaskan impiannya. Lantas terniat olehnya untuk pulang ke kampung-halaman, di mana sawah dan ladang terbentang luas, menanti jamahan tangan-tangan yang rajin. Namun istri dan anaknya keberatan. “Apa kata orang kalau Bapak di kampung sementara kami masih di sini,” ujar mereka meyakinkan. Maka, dia pun mengalah.

Tetapi di rumah dia sering pula merasa kurang kerasan, lebih-lebih di siang hari. Istrinya mengajar di sebuah SD swasta. Sedangkan putrinya, Yuliza, juga jarang di rumah. Alumni institut keguruan itu begitu sibuk, jadi guru honorer pada beberapa sekolah menengah sambil mencari lowongan pekerjaan yang bersifat tetap.

Putra sulungnya, Suardi, sudah berbilang tahun merantau. Sarjana teknik industri lulusan ITB itu, yang katanya telah berhasil memperoleh lisensi bertaraf internasional di bidang keahliannya, kini menjabat sebagai manejer produksi di perusahaan milik orang Jerman di Batam. Suardi memilih gadis Solo sebagai pendamping hidupnya. Dan menurut orang-orang, dalam setiap kesempatan dia cenderung bersemangat mengarahkan pembicaraan kepada kenakalan dan kelucuan dua anak Suardi.

***

Dalam benak orang-orang memang telah terpatri, kepedulian maupun sumbangsihnya terhadap musala serta lingkungan tempat tinggalnya, melebihi komitmen seorang modin atau pekerja sosial mana pun. Orang-orang merasa sangat kehilangan sewaktu tidak menampak batang hidungnya. Dan seolah mengarifi keprihatinan semua orang, dengan nada menghibur, mubalig tetap pengajian di musala kami berpetuah, terpancar lewat pengeras suara yang dipasang di kubah musala: “Menurut ajaran agama, orang kayak Pak Joumar itulah manusia yang paling mulia. Ada yang kurang rasanya kalau dia tidak hadir di antara kita. Dari itu seyogianya kita sama mendoakan, semoga beliau lekas sembuh jika sakit, dan cepat kembali bila bepergian….”

Tiada heran, tidak hanya pengurus dan jemaah setia, orang-orang yang kecipratan hasil jerih payahnya dan, mereka yang cuma sekali dua mengikuti wirid dan sembahyang di musala, berduyun pergi menengok dia yang lagi diserang demam.

“Pak Joumar sakit, ya, Bu,” kata Bimo.

“Iya. Sudah tiga hari….”

“Ibu mau besuk?”

“Tentu. Memang kenapa?”

Astaga! Ketika main sembunyi-sembunyian dekat musala, Bimo dan beberapa kawannya pernah memergoki dia sedang mengintip ibu-ibu. “Sambil membersihkan tempat berwudu kaum bapak, Pak Joumar menempelkan sebelah matanya ke dinding triplek bolong,” demikian Bimo mengakhiri ceritanya.

“Boleh itu, Bu?”

“Jelas tidak,” jawabku, setenang mungkin. Aku berpikir, jangan-jangan Bimo, anakku semata wayang, cuma berfantasi.

“Dedet bilang itu dosa, Bu.”

“Betul itu,” kataku. “Agama melarang kita melihat aurat orang lain,” tukukku seraya terus menandani diri di muka cermin.

“Tapi Pak Joumar bukan modin, kan, Bu?”

“Iya. Bukan….”

“Bu…,” Bimo tertegun. Gelisah, dia hindari pandanganku. Darahku berdesir.

“Ada apa, Bim?” aku bertanya hati-hati.

“Ibu tidak marah, kan?”

“Kenapa musti marah?”

“Aku….”

“Kamu kenapa, Bim?” hasrat ingin tahuku menggebu karena kalimat Bimo yang menggantung itu. Dadaku berdebar, tak enak.

“Ibu janji tidak marah, ya?!”

Aku mengangguk dalam-dalam, berulang kali, untuk meyakinkan Bimo.

“Minggu lalu… aku melihat… melihat, ya, Minggu lalu aku melihat… Pak Joumar memagut Bi Kembang di balik pohon pisang di pekarangan musala.”

Aku bagaikan tersengat arus listrik mendengarnya. Jantungku seperti mau copot. Dadaku berdebar lebih kencang dari tadi. Pakaian yang baru kukenakan untuk besuk bersama beberapa ibu tetangga jadi berlobang-lobang rasanya. Lama aku terdiam. Perasaanku benar-benar porak-poranda, tak karuan dan… geram bukan alang-kepalang.

“Bu!” imbau Bimo memecah kebekuan. “Ibu marah, ya?!”

“Ndak, Bim….”

“Wajah dan mata Ibu merah! Ibu janji lho tak akan memarahi Bimo….”

“Ibu cuma marah kalau cerita itu kamu beritahukan pada orang-orang,” ujarku pula. Ya, apa lagi yang musti kukatakan kepada Bimo. Siapapun, kupikir akan pusing tujuh keliling menghadapi realitas yang bertolak-belakang dengan keyakinan yang sudah lama bercokol dalam kepala orang-orang.***

Padang, 17 Februari 2008