Minggu, 26 April 2009

Infini

Cerpen J. Angin Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 04/19/2009 Telah Disimak 262 kali

Inilah Senin pertamaku benar-benar hidup sebagai pensiunan. Memang resmi bulan lalu aku gantung dasi, tetapi biasanya masih ada telepon berulang kali menanyakan ini-itu dari para mantan bawahan, atasan, dan penggantiku. Hari ini mereka sudah berhenti menghubungi. Ganjil rasanya; empat puluh tahun lebih, awal minggu selalu jadi hari tersibuk. Kukira memang sekarang masanya semua sungguh berlalu. Diam berebahan di pembaringan. Sendirian.

Di luar sudah gelap. Belum saatnya tidur, aku tidak mengantuk. Bangkit lagi sedikit limbung, entah berapa lama terpekur; bingung hendak melakukan apa. Akhirnya aku turun dari kasur, memakai sandal jepit, dan berjalan ke jendela. Pemutar audioku memainkan pita lagu lama, sekarang ini Smoke Gets In Your Eyes versi The Platters. Sudah mengayun suaranya, maklum kaset tua. Hampir selesai. Akan segera berganti ke tembang berikutnya.

”Gantilah dengan cakram padat, Yah. Jauh lebih jernih.” Anak pertamaku pernah komentar.

”Ini kubeli semasa muda dulu, Nak. Ada kenangan di dalamnya,” jawabku.

”Nanti akan kubelikan untuk Ayah. Sekaligus dengan pemutar digitalnya,” katanya sambil tertawa waktu itu, bertahun lalu.

Aku tersenyum. Ingin meneleponnya, tetapi entah nanti malah mengganggu atau tidak. Lagi pula jam begini setahuku biasanya dia belum pulang. Maklum, awal minggu.

”Ayah kok baru pulang?” tanyanya waktu seusia dengan cucuku—putranya sekarang.

”Tugas menumpuk, Nak,” jawabku waktu itu. Aku lupa saat itu tersenyum atau tidak. ”Kamu sendiri kenapa belum tidur?”

Kalau kucoba telepon ke rumah, yang akan menerima mungkin menantuku. Bisa saja bertanya apa kabar, apa kabar anaknya; tetapi sungguh aku bukan orang yang senang basa-basi. Selain menyapa, aku tak tahu apa lagi yang ingin kubicarakan dengan mereka. Dengan anakku? Apa yang hendak kubicarakan? Cerita tentang hari ini? Tentang musik yang sedang kudengar dan kenapa aku jadi ingat dia? Tiba-tiba saja aku jadi terdengar seperti ibunya. Maka, kubatalkan niatku.

”Coba cari kegiatan apalah begitu?” Itu komentar istriku dulu tiap melihat aku begini. ”Jangan diam-diam saja....”

Lalu, aku berlalu ke rak buku. Seperti sekarang.

Kini sudah tak ada yang baru di sana. Kubuang waktu dengan membacai judul di deretan punggung-punggungnya, baru sadar ternyata sudah lama sekali aku tidak punya bacaan. Surat kabar kian hari kian tipis, tidak ada lagi yang menarik untuk disimak—itu juga aku sudah tak berlangganan lagi; mulai bulan ini. Bisa saja kutarik, kubuka, dan kupaksa ulang membaca salah satunya, tetapi aku tak tega. Tak tega kepada diriku sendiri. Akhirnya kurelakan. Lemari ini sudah tak bisa jadi penyelamat lagi.

Kulirik pesawat televisi yang teronggok diam di muka ranjang. Sejak benda itu dibeli, aku tidak pernah menyentuhnya.

”Apa saja kegiatanmu sepanjang hari? Nonton?” Sering kusindir ”mantan” istriku tiap kutemukan dia duduk terpaku di depan sini saat aku pulang kantor. Aku masih ingat betul, ia tak pernah menjawab. Beberapa kali istriku bahkan tidak menoleh seakan tak mendengar suaraku sama sekali. Masih ingat waktu-waktu seperti itu aku sangat marah. Bisa saja kutarik dan kusakiti dia. Tetapi, aku tak pernah sampai hati. Pada tahun-tahun terakhir, benda inilah yang sudah menyelingkuhi dia. Mungkin harusnya kubesituakan saja si satu mata tersebut, biar tak teringat lagi hari-hari dulu. Tetapi, entah kenapa belum juga aku lakukan. Di lemari pakaian, baju-baju lawas istriku sudah bersih terdonasikan pada fakir miskin, tetapi benda satu ini masih saja kubiarkan. Hingga hari ini masih kutatap layar gelas itu dengan pandangan benci. Aku bersumpah tidak akan menyentuhnya. Tidak juga malam ini, seberapa pun sepi.

”Ke mana televisinya, Yah?” Mungkin aku takut anakku yang kedua akan bertanya seperti itu saat berkunjung lebaran tahun depan.

Semasa kecilnya dulu, ia paling senang menonton di sini.

”Kamu sudah kerjakan PR belum?” Sering kutegur dia tiap kutemukan dirinya saat aku pulang kerja.

”Sudah dong, Yah,” jawabnya santai. Kadang tanpa menoleh sama sekali.

Mungkin karena itu juga foto pernikahanku masih kutinggalkan tergantung di dinding kamar ini. Kutatap gambarnya yang bisu. Di situ kami terlihat sangat muda. Sangat bahagia. Puluhan tahun lalu.

Sekali lagi aku tersenyum sendiri. Kali ini timbul keinginan menelepon anak bungsuku. Tetapi, untuk kedua kali kuingatkan diriku: Apa yang hendak dibicarakan? Belum lagi jika ternyata pembantu mereka atau menantuku yang nanti mengangkat; biaya telepon tidak murah. Kuingatkan diriku, mulai bulan ini harus ekstra hemat; mulai bulan ini aku bergantung hidup hanya pada simpanan yang jumlahnya tak seberapa.

Kupandang meja tulis yang ada di samping pintu, kukerling lacinya yang teratas; di mana buku tabunganku tersimpan rapi. Sudah hampir setahun tak kukeluarkan dari sana. Terus terang saja: aku takut melihat angkanya.

Puluhan tahun berkarier mencari keuntungan perusahaan, setahun terakhir aku baru ingat tak pernah mengkalkulasi keuangan sendiri. Ini bukan lagi permainan yang sama dengan yang kumasuki dahulu.

Saat mulai berkarier, tak pernah kubayangkan harga-harga akan setinggi sekarang. Sewaktu anak-anak masih kecil, harga obat dan ongkos rumah sakit rasanya selalu bisa kutanggung. Jika uang tak cukup, aku masih dapat berutang pada kantor. Tetapi, entah kenapa, saat aku menua dan istriku sakit-sakitan, semua jadi tak terjangkau lagi. Tak pernah kuduga satu dekade lalu program pensiun tiba-tiba lenyap. Andai aku masuk sepuluh tahun lebih awal, mungkin semua akan berbeda. Satu hal yang tak bisa kubanggakan, aku pensiun dengan sisa utang biaya pengobatan istriku akhirnya dihapus. Ingin kujual rumah ini untuk melunasi, tetapi atasanku mencegah. Ia tahu aku tak punya apa-apa lagi. Hanya itu penghargaan terakhir yang bisa diberikan perusahaan atas pengabdianku.

Setahun terakhir, baru kupikirkan: siapa yang akan menanggung sisa hidupku nanti?

Hingga hari ini, aku belum pernah minta bantuan anak-anak. Semoga tidak akan perlu. Tetapi, bagaimana andai aku seperti ibu mereka dulu? Mengobati sesuatu yang ternyata tak bisa disembuhkan?

Aku tak pernah menyalahkan ibu mereka. Tak ada yang mau sakit. Aku juga tak pernah menyalahkan Tuhan. Manusia sakit bukan karena Tuhan.

Namun, apa yang harus kulakukan bila saja suatu hari nanti nasibku serupa? Siapa yang harus berutang untuk semua biayanya? Apakah anak-anakku juga harus merelakan simpanan mereka habis untuk melawan yang ternyata tak bisa dikalahkan?

Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Aku selalu berharap agar keluargaku dilimpahi kesejahteraan. Tetapi, bila ternyata mereka punya takdir berbeda, apa itu juga yang akan didoakan anak-anakku nanti? Berpuluh tahun mendatang?

Saat mereka mulai bekerja, tak pernah kubayangkan gaji pegawai akan seperti sekarang. Pada masaku dulu, semua cukup. Untuk makan kenyang tiga kali sehari, beli pakaian, sekolah anak, mengoleksi kaset musik dan buku favorit, kredit kendaraan, hingga akhirnya bisa membiayai rumah mungil ini. Ibu mereka cukup tinggal di rumah, tetapi kini anak-anakku dan pasangannya harus bersama cari nafkah hingga jauh malam; seperti halnya yang selama ini aku lakukan.

Dan bila ditanya oleh anak-anak mereka: kenapa baru pulang? Jawaban mereka pasti juga akan sama: ”Tugas menumpuk, Nak....”

Lantas, apa yang akan terjadi kepada putra-putriku puluhan tahun mendatang, pada hari Senin yang sama seperti hari ini untukku? Merenung seperti aku juga?

Lalu setelahnya tiba giliran anak-anak mereka? Cucu-cucuku?

Ini bukan jalan yang sama seperti yang kubayangkan akan mereka lalui saat mereka mulai bersekolah dulu.

Bagaimana bila puluhan tahun nanti harga dan biaya menjadi ratusan atau ribuan kali lipat dari sekarang? Dan bagaimana, jika pada masa depan, perusahaan tempat mereka bekerja sudah tak mau menghapus utang dan tagihan kesehatan saat pensiun nanti? Siapa yang akan menanggung itu semua?

Cucu-cucuku...?

Saat itu aku teringat kedua orangtuaku dulu.

Sampai di situ, aku tak kuat lagi. Kepalaku terasa sakit. Terhuyung aku kembali duduk di tepian kasur, memejamkan mata, mengurut kening yang seperti mau meletus. Untuk ketiga kalinya malam ini, timbul hasrat untuk menelepon anak-anakku. Ingin sekali kuutarakan semua yang terlintas di pikiranku barusan. Ingin sekali aku berteriak: selamatkan dirimu! Selamatkan anak-cucumu!

Tetapi, lantas aku jadi bertanya: siapa yang akan menyelamatkan aku pada sisa hidupku ini...?

Dan akhirnya, untuk kali ketiga pula, harus kuurungkan niatku....

Aku limbung. Kutarik napas-napas panjang, berusaha meredakan hantaman badai di dalam tengkorakku. Kulepaskan kedua sandal, dan berbaring menelentang, masih dengan mata terpejam erat.

Kembali terdengar alunan lembut suara Tony Williams: ”...Yet today my love has flown away.... I am without my love....”

Rupanya kaset C60-ku sudah berputar ke lagu semula. Apakah sudah selama itu...? Rasanya seperti baru sekejap saja...? Rupanya waktu telah berlalu tanpa terasa; hilang begitu saja entah ke mana....

”Coba cari kegiatan apalah begitu? Jangan diam-diam saja....” Terngiang kembali suara istriku.

Aku terdiam, rebah di pembaringan. Sendirian. Di luar semakin gelap, tetapi walau masih belum bisa membuka mata, aku belum mengantuk; belum saatnya tidur. Inilah hari pertamaku hidup benar-benar sebagai pensiunan. Apakah esok akan berbeda? ***