Selasa, 28 April 2009

cerpen menjelang pertarungan terakhir

Menjelang Pertarungan Terakhir

Cerpen Zen Hae Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 04/12/2009 Telah Disimak 247 kali

AKU telah menunggumu dengan susah-payah, Lawanku. Tapi aku masih berharap ini akan menjadi pertarungan terbaik kita, pertarungan habis-habisan. Tapi kenapa kau bimbang? Sebab yang kauhadapi adalah pendekar tua yang buntung tangan kirinya, dengan wajah separuh mayat setengah orang hidup? Oh, jangan sekali-kali kau remehkan aku. Demi Malaikat Maut yang terus mengincarku, aku tidak mau mati oleh racun sialan ini. Aku seorang pendekar, hanya akan mati dalam pertarungan yang selalu punya dua kemungkinan: aku atau lawanku yang mati. Namun, sebelum kita mulai baiklah kaudengarkan apa yang akan kukatakan. Pusatkan perhatianmu. Sebab ini cerita bukan sembarang cerita.

Rawa Lingi

Di musim yang berlimpahan matahari, dengan kelembaban yang hanya bisa dihayati bekicot dan katak pohon, kulanjutkan lagi perburuanku. Dari kepala turun ke pundak, dari bapak turun ke anak--memburumu. Kulayari lagi rawa itu. Sehamparan pualam hitam: padat seakan-akan, liat dalam tatapan, beriak oleh percikan ludahku. Sedang pepohon di tepinya, seperti para centeng tua yang kurang makan, merinding oleh hawa panas yang bangkit ke arah matahari.

Dua puluh kayuhan lagi, mungkin lebih, rakitku bakal sampai ke seberang. Aku memejam, membayangkan sebuah pondok yang akan membuatku tertidur di bawah reruntuhan suara sikatan, keronyos minyak kelapa, harum gurame goreng, gelegak sayur asam, medoknya sambal terasi--Oi, nasi pulan pujaan kaum lapar sedunia. Tapi terbayangkan pula pertarungan itu: golok gerumpung, kepala yang jatuh ke lumpur, seorang anak yang akan menuntut balas.

Tapi aku dikagetkan oleh jeritan tukang rakit, oleh kecipak ikan-ikan yang terus menguntit kami. Mereka yang mengasah gerigi dengan bayangan daging paha kambing muda, serentak mengganyang bayangan rakit kami. Maka kujulurkan tangan kiriku yang penuh rajah ke udara, kugoyang-goyangkan ia hingga seekor ular sanca dan seekor harimau biru tua menggeliat tanpa suara. Aduhai, para pemangsa itu alangkah girangnya! Para mangsa itu betapa angkuhnya!

Tapi dari tepi rawa, di atas cadas, seorang perempuan berpayung geulis, dengan paras semurung batu kuburan, kontan menggusah mereka. Ia yang terancam oleh tangan dan mataku. Seakan aku malaikat maut--atau si bergajul?--yang akan menghanguskan pepucuk rengas dan membekukan air rawa. Aku merunduk dengan tudung bambu yang nyaris menyentuh air dan kutemukan bayangan tubuhnya tersula bebatang lingi. Tapi ikan-ikan maharakus itu, yang tak sempat lagi kunamai, tak berani menyantapnya sebab sang pemilik bayangan menjerit lebih keras lagi: "Ikan hanyalah ikan jika ia berinsang. Makan ayolah makan jika ingin kupindang."

Maka aku melompat ke tepi sebelum bayanganku--seluruh tubuhku--rombeng, sebelum rakit itu sirna dan pengayuhnya geragapan di pematang. Aku berlari menginjak muntahan lingsang, tahi bebek, cangkang kijing, semak orang-aring. Lalu pematang yang lurus, menyerong, bersilangan, dengan rekahan menganga hitam seperti pernah menelan bola api, padang rumput yang mengusir tekukur dan lembu gering. Serentetan ratapan memutar arah pandang:

"Saya mengintipmu dari sini, Junjungan. Tubuhmu yang gerumpung perlahan mengendap, dipandu sebongkah batu. Tak mungkin meminta talkin pengiring, tak bisa memilih makam terindah, kecuali bulan sebundar nyiru sekilau mata kucing. Sedang saya mengendap lebih rendah dari perdu ketika sosok di atas rakit itu seperti berkhotbah, 'Dari air balik ke air, dari tanah pulang ke tanah, ke mulut buaya dia punya rumah.'

"Tapi bagaimana Tuan akan bangkit dan membalas dendam dengan tubuh yang melawan segala hukum keindahan, dengan kepala yang entah di mana--tak tahu lagi arah kabah dan tudung hidang. Bagaimana Tuan akan memaafkan sekaligus mencintai saya lagi dengan zakar yang kikuk di depan seekor gabus. Bagaimana saya harus mengatakan pada ular-ular itu bahwa yang menetes dari mata saya adalah butiran-butiran garam."

Batu Bersurat

Perempuan itu tugur. Lebih khusyuk dari zahid, lebih sabar dari anjing, lebih keras kepala dari arca singa. Sudah berapa lama? Hanya demi si mati? Kenapa ia berbaik hati kepadaku? Siapakah yang ia nanti sebenarnya? Aku tiduran dengan tanya tak berjawab, dengan bantal yang memerangkap harum akar wangi dan tanah basah--seleretan geluduk yang mencakari langit selatan. Aku memejam agar yang senantiasa membisu mengucapkan rahasia. Tapi yang tak bisa kucegah terjadi: gemersik dedaun bambu, kelepik jemuran, gedebam timba, derit engsel karat pada pintu dan jendela, madah girang katak bangkong, gericau angsa. Segalanya teraduk dan pecah: hujan termurni, basah paling memberahikan, hijau yang penuh harapan. Alam seperti tercipta dari perang besar yang baru usai....

Oi, seluruh yang lampau merasuki pikiranku seperti arwah penasaran. Segala yang berlayar ke muara serentak kembali ke hulu. Waktu memadat menjadi pecahan tembikar dan batu bersurat yang terjungkal di belakang pondok. Sedang segala yang pecah dan tersurat mengalirkan hawa dingin. Kuhirup ia hingga aku hidup dalam kesegarbugaran ingatan. Demi kuburan Cina yang pernah kujarah karena kemiskinanku, demi sorga yang kubayangkan penuh pohon durian, kini aku tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Ia perempuan jalang yang membuat ayahmu mabuk dan meninggalkan kau dan ibumu.

Ia mencintai ayahmu sebesar takutnya pada kematiannya sendiri, sepenuh sayangnya pada seekor kucing belang tiga, sepanas cintanya pada seorang tukang mindring. "Dia tidak mau bunting sama lakinya," kata pemilik pondok, "tapi malah kebablasan sama si tukang mindring. Dia lantas menggugurkannya pada ibuku.

"Dia merasa secantik burung mandar tetapi bernasib sesial kokokbeluk."

Rimat Gonggo

Aku telah berguru kepada para penguasa jurus-jurus terbaik: kepada mereka kusambungkan nasabku, dari mereka kuasalkan ilmuku. Aku telah memburu para bergajul teranjing: ke badan mereka kusarungkan golokku, dari mereka kudapatkan namaku. Tapi hanya ayahmu lawan dari segala lawan. Ia yang menguap bersama asap tabunan, lebur ke lambung malam hujan, diserap angin subuh, menjelma jadi ular beludak, kupu-kupu, pisang seribu.... Hingga kutemukan gurunya, kudapatkan hari naasnya.

"Shionya kambing. Adatnya keras, gampang marah dan tersinggung, tapi hatinya baik tiada banding dan gampang tenang lagi jikalau tiada ditantang. Dia bakal mengalami ciong besar pada malam Rabu Paing Cia-Gwe Cap-Go, antara tengah malam hingga ayam turun kandang. Dia bakal menyebut tujuh kata yang tak kumengerti sebelum Malaikat Maut menyentuh ubun-ubunnya."

Maka kuikuti ke mana langkahnya, kuawasi setiap geraknya, kuhafal segala perkataannya, hingga seluruh hidupnya kemudian adalah pengetahuanku. Aku kamus hidup yang butuh hanya beberapa malam lagi agar diriku sempurna. Itulah malam ketika ia mencegat si Tukang Mindring di tepi kali selepas Magrib. Tak ada yang bisa dilakukan si Tukang Mindring kecuali menangis dan mencoba mencium kedua kaki ayahmu. "Ampung Wang Lima... ampung...."

"Lakonnya memang sudah begitu, Tan Seng Thee. Aku dikhianati, kau tergoda, dia menanggung dosa. Lantaran cinta aku bisa memaafkan dia. Tapi lantaran apa aku harus memaafkanmu. Kau orang paling hina, dilihat dari langit ketujuh sekalipun. Kau akan mencicil kematianmu sendiri sebagaimana orang-orang miskin mencicil utang kepadamu. Kau akan batuk darah selama sebulan. Kau akan tinggal tulang dan kulit hangus. Kau akan mampus seperti ketambus."

Si Tukang Mindring seperti diamuk angin puyuh, terhuyung-huyung melintasi tepi kali dan bendungan, entah ke mana. Sedang ayahmu naik sado ke kota, ke pesta malam Cap Go Meh. Inilah malam pengobat duka-lara, malam arak dan cinta, malam untuk hidup dan mati. Orang-orang berdesakan di perempatan, menikmati rupa-rupa hiburan. Tapi ayahmu hanya terpikat pada yang ini: dua barongsai-empat penari, dengan mata yang kelewat besar dan bulu dari serpihan bintang, keluar dari persembunyian setelah dipancing oleh tetabuhan. Orang-orang bertepuk. Dua bintang itu lantas pasang aksi: meliuk-liuk, melompat, menegakkan badan, mengerdip-ngerdip, menggelosor, melompat lagi, ke kiri ke kanan, menyembah, menelan angpau.

Ayahmu keluar dari kerumunan setelah dua barongsai itu menelan angpaunya. Ia menepi ke emperan toko, lantas memesan kopi dan makan beberapa potong uli panggang. Setelah itu ia mampir ke tukang jamu, sebelum akhirnya menyelinap ke dalam gang. Kini ia disambut barongsai perempuan, yang tubuhnya sesegar ketimun dan matanya sebundar gandaria. Barongsai perempuan itu lantas menjulurkan lidahnya, menggulung tubuh ayahmu, menelannya, memuntahkannya menjelang tengah malam. Aahhh. Aku menelan ludah.

Benar, kulihat ia keluar gang sembari cengar-cengir kuda. Aku kembali membuntuti langkahnya. Sepanjang jalan, di atas sado, ia menyenandungkan entah lagu apa, berulang-ulang, hingga turun di pangkalan dan menyusuri tepi kali. Sesampai di bendungan ia belok kiri, menyusuri jalan berkerikil kira-kira 30 langkah, lantas belok kanan melompati selokan, menjejaki pematang. Aku tahu itu bukan jalan menuju rumahnya. Aku tahu ia menggiringku ke tengah sawah. Baru kira-kira 17 langkah ia berhenti bersenandung dan menoleh ke arahku. Aku tak mungkin lagi sembunyi.

"Sejauh-jauhnya langkah pasti ada berhentinya. Sesabar-sabarnya orang pasti ada marahnya. Sediam-diamnya batu pasti ada maunya. Katakan apa maumu."

"Setinggi-tingginya pohon pasti ada pucuknya. Sepanjang-panjangnya surat pasti ada tamatnya. Sejago-jagonya orang pasti ada apesnya. Kau akan mati malam ini, di sini."

Kami bertarung. Rumput melesak, lumpur meninggi, angin teraduk. Kecipak air, lompatan katak, hunjaman kaki, sisik melik mati, belalang terbang. Pukul berbalas pentil, tendang berbalas sampok, gentus berbalas potong. Jurus berbilang jurus. Kami bertarung. Hingga terpakailah semua jurus kami. Tapi kami seperti dua belahan dari satu tubuh. Tak bisa mengalahkan, tak bisa dikalahkan. Hingga kami berhenti setelah seluruh tubuh kami terbungkus lumpur. Jarak kami sejauh sepetak sawah. Aku duduk di pematang, mengusap lumpur yang memenuhi parasku, mengatur napas. Ayahmu berjongkok di pematang seperti patung kodok. Kami saling tatap, saling incar.

Tiba-tiba ia meraba goloknya. Kucekal gagang golokku. Terdengar bunyi sreekk dan bilah goloknya basah oleh sinar bulan purnama. Ia bangkit dan maju tiga langkah, lantas menggeser kaki kanannya ke belakang. Aku berdiri dengan golok merunduk. Kedua tangannya menyilang di atas dada dengan bilah golok menempel di pipi kiri. Dengan gerungan kerbau sekarat ia melesat ke arahku. Aku pun menyambutnya dengan lesatan jalak suren. Hiiaaaattt! Duagghh! Triiing! Crasshh!

Tubuh kami berbenturan di udara. Tubuh kami terpental. Aku jatuh duduk dengan sayatan luka di dada kiri. Nyeri campur sesak. Golokku gerumpung. Ia berdiri, sedikit goyah, dengan golok tetap utuh. Setelah tujuh tarikan napas dan kuda-kudanya kokoh, ia kembali melompat ke arahku. Ya, inilah kesempatan terakhirku untuk melawan. Maka dengan sisa-sisa tenaga kuputar tangan kananku, kugulung tangan kanannya, kukunci, kutarik ke dadaku, kupukul pergelangan tangannya kiriku hingga goloknya terlepas, lantas kuberi pukulan siku kanan ke dadanya. Sekuat-kuatnya.

Ia terlempar dan terjengkang tidak jauh dari pematang. Ia mengaduh sambil memegangi dadanya. Kucabut goloknya yang tertancap di lumpur, kudekati ia yang terus beringsut mundur hingga bersandar di pematang. Kini jarak kami hanya sedepa. Kulihat matanya mulai putus asa. Kuacungkan golok itu ke lehernya. Kedua biji matanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti mencari arwah para pendahulunya untuk memberinya penyambutan sekaligus penghiburan terakhir. Mulutnya lantas menyembur-nyemburkan darah campur lumpur, seperti ingin berkata-kata, bergetar tak terkendali, meracau:

"Beerrrracott burrrrrugatok greonnnggg, beerrrratokk kkkkaalllamintut glabud. Beeerrrr...."

Kendi Ingatan

Begitulah. Tahun-tahun jahanam telah menghuni kendi-kendi ingatanku. Sepenuh amarah yang tak bisa kucegah, sekeras arak yang selalu merongrongku, setabah gerabah di tengah rimbun api. Kendi-kendi itu kemudian tertindih oleh kendi-kendi lain lagi, penampung segala kecemerlangan, tapi selalu bisa para jahanam itu meloloskan diri. Dengan paras yang menyala oleh girang dan dendam, mereka mendatangiku. Tubuh mereka yang menghijau lebih purba dari hutan larangan, yang membengkak sebesar tempayan, lantas berlompatan, bergesekan, bertubrukan.

Aku tersungkur di antara dengung panjang dan tumpahan cahaya hijau--sebelum akhirnya semua hitam sempurna. Seekor serangga berdarah cahaya tiba-tiba menetas di lubuk tergelap mataku. Ia yang memereka tanpa tambah dan kali, terang-temerang tapi bukan lagi penunjuk jalan. Sebaliknya: dasar lubuk matakulah kampung halaman mereka. Lihatlah, sebelum dilumat raksasa yang menjinggakan seperempat ufuk, mereka memburu mataku, menyusul para pemilik kuku yang telah kukirim ke neraka. "Pulang marilah pulang, wahai kaum yang kalah terang. Para pemilik kita, biarlah berjaga-jaga," senandung mereka sambil memijarkan perut mereka seterang-seterangnya.

Aku terjaga di antara para mendiang yang menyeringai sekaligus minta dikasihani. Mimpi buruk itu membuat leherku tercekik, hawa kamar membuatku kehausan. Aku minum dari kendi dan membuka jendela dan girang oleh angin yang masuk tanpa permisi. Bulan terang sekali hingga punggung batu-batu bersurat itu tampak mengilat, minta rahasia di tubuh mereka dibaca, tetapi rahasia tetap rahasia. Pohon kapuk di pojok halaman itu juga terlihat hingga pucuknya. Buah-buahnya menyerupai kepompong, jatuh ke atas batu, pecah beberapa, mengeluarkan serat-menggumpal-putih-pucat-lembut, ingin terbang.

Oh, aku sungguh terharu oleh pemandangan ini. Tapi keharuanku segera sirna oleh sepotong suara dari balik batang randu--berulang-ulang, bergelombang: "Di mana kepalaku?" Aku menanti siapa yang akan keluar. Hantu ayahmu? Si penyaru? Orang gilakah? Istri muda ayahmu, ternyata. Burung mandar yang kesepian, kokokbeluk tanpa riasan.

"Aku tidak akan memberi tahu di mana aku membuang kepala suamimu. Sebab, begitulah syaratnya: Kepalanya harus dipisahkan dari badannya agar dia tidak bisa hidup lagi. Kau akan sia-sia memaksaku."

"Mungkin aku bisa menerimanya. Tapi satu hal lagi kuminta. Urungkan niatmu untuk memburu anak ingusan itu. Dia sudah pergi begitu kau tiba di pondok ini."

"Aku sudah menandainya. Aku akan mendapatkannya."

"Apa semua itu tidak cukup buatmu? Namamu telah masyhur karena nyawa-nyawa yang meregang oleh golokmu. Kau telah membunuh ayah anak ingusan itu, yang adalah suamiku. Kenapa pula kau ingin menghabisi anaknya."

"Anak itu mewarisi semua kejahatan ayahnya. Demi segala kebaikan dan ketenteraman hidup kita, segala bentuk kejahatan harus habis."

"Sabarlah. Anak itu memang bukan darah dagingku. Dia juga tidak menaruh hormat padaku karena aku merebut ayahnya dari ibunya. Tapi aku menaruh harapan padanya. Dia mewarisi keberanian sekaligus kebengisan ayahnya. Biarkan dia menamatkan satu-dua jurus lagi, agar kuda-kudanya makin kokoh, pukulannya lebih bertenaga, teluhnya tambah ampuh. Aku sengaja meminta dia pergi agar dini hari ini adalah malam kita berdua."

"Aku hanya berurusan dengan suamimu dan anak tirimu. Kau bukan lawanku, bukan buruanku, Nyai Sirih Kuning."

"Tapi kau telah membunuh suamiku, Muhammad Naim, dengan cara yang sangat keji. Seakan dia tidak punya sanak-keluarga yang menyayangi. Aku tidak mungkin memaafkanmu hingga hari kiamat sekalipun. Kau menghinaku dan sanak keluarga suamiku."

Begitulah. Aku kembali bertarung. Jurus-jurus istri muda ayahmu aneh tapi cukup merepotkan. Tidak bisa kutebak ke mana maunya. Sepertinya ia belajar silat bukan pada seorang pendekar, tetapi pada seorang tukang masak. Sampai pada suatu ketika ia memutar-mutar goloknya cepat sekali seperti orang sedang mengocok telur. Ia menyebutnya jurus "Mengocok Telur di Bawah Bulan."

Putaran golok mahacepat itu membuat kepalaku memberat dan penglihatanku mengabur, dan sialnya, ia berhasil mendapatkan pergelangan tangan kiriku. Sebaliknya, dengan susah payah aku mendodet perutnya. Ia sekarat dengan usus terburai. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha menahan usus yang mulai mengembang karena angin pagi. Suaranya putus-putus, tapi lengkapnya begini:

"Aku memang bukan lawanmu. Tapi mampukah kau melawanku dalam soal racun-meracun orang? Kau telah melahap makanan terbaik di pondok ini, bukan? Makanan yang membuat kau kekenyangan dan tidur penuh mimpi buruk. Hikh... kelezatannya sedang meracunimu. Racunnya bekerja sangat pelan, hingga kau...."

Perutku langsung mual. Tapi tak ada makanan yang keluar. Segera aku berlari ke dalam pondok dan kugedor pintu kamar pemiliknya. Tapi kamar itu kosong, seperti tak pernah dihuni. Kamar-kamar lain juga sama kosongnya. Aku lantas menuju dapur dan hanya kutemukan perabotan yang bergeletakan dan tungku dingin. Berdebu. Ke mana perempuan iblis itu? Siapa dia sebenarnya? Aku kembali ke tempat pertarunganku dan kudapati istri ayahmu telah sempurna matinya. Jahanam. Parasnya kini berganti-ganti dengan paras pemilik pondok. Siapa dia sebenarnya?

Aku keluar dari pondok itu saat terang tanah. Bayangan kematianku memendek pelan-pelan.

Kuda-kuda

Setelah pertarungan itu aku masih tetap memburumu, tapi kau benar-benar sirna dari kampung itu. Pikiranku mulai dirambati keputusasaan. Sedang racun makanan mahalezat itu terus menggerogotiku. Ugghh... akhirnya aku mengasingkan diri ke peristirahatan ini. Aku yakin kau punya cukup alasan untuk mencariku. Maka aku menantimu. Akulah buruanmu kini. Buruan yang tak meminta belas kasihan. Kecuali maaf seluas langit dan bumi. Kini, pasang kuda-kudamu, Anak Kemarin Sore! Beri aku pertarungan terbaik! ***

Kembangan Selatan, 2008