| |
Malam meninggalkan jejaknya pada embun, embun yang tercampur hangat asap knalpot, tak terhindarkan masuk hidung. Tepi jalan semarak, dipagari senyum– senyum. Janji-janji, slogan. Titel. Titel. Titel. Ada juga tanpa titel. Ada paket C: God! Konon ada yang palsu! Begini kiranya calon pemimpinku kelak. Selayaknya senyum, ia seharusnya dapat menyenangkan hati, menenangkan hati, menyemangatkan, tapi bagiku ini tidak. Melihatnya hanya lelah yang kurasa, menambah rasa lelah sisa semalam yang membonceng di jok belakang. Tapi pernah kudengar, entah dimana dari siapa, bahwa rata–rata wanita di Singapura menikah pada usia 32. Ia bahkan hingga musim Pemilu berikutnya pun belum lagi menginjak tigapuluh. Sebetulnya, bukan aku tak siap berumah tangga. Tapi keadaanku masih begini, pekerjaan belum jelas, masa depan belum jelas. Bukankah yang dilihat dari seorang pria adalah masa depannya? Dan wanita: masa lalunya. Mungkin tak persis begitu. Klakson sebuah bus karyawan memusatkan lagi konsentrasiku. Aku meminggirkan posisi sepeda motorku ditengah badan jalan agar berjalan lebih ketepi. “Udah punya gambaran nyontreng nanti Bib?”, Mas Pur membuka pembicaraan saat break pagi. Lagi, Lily menerobos masuk kekepala, seperti telah lama mengantri, tak rela tempatnya dikepalaku di rampas pekerjaan. Tak biasanya Mas Pur punya perhatian pada perkara politik, dan tak mungkin rasanya ia jadi tim sukses partai. Ogah-ogahan, kujawab juga Mas Pur. “Belum Mas, mungkin aku ngga nyontreng, tapi ya lihat moodku nantilah.” “Tadinya aku juga mau golput Bob, tapi kemarin aku ditawari seratus ribu!” Mas Pur meneruskan. Wajah gembulnya tampak semangat. Rezeki nomplok, tentu begitu pikirnya. Belakangan overtime berkurang. Beberapa perusahaan melafalkan Zero OT. Kalaupun ada, ya beginilah, dijatah. Orang berebut lembur. Kerja lebih, bukan untuk meningkatkan taraf hidup, bukan demi kebutuhan tertier, cuma biar hidup pas sebulan, agar tak kurang, agar tak berhutang. Semua orang tahu, gaji basic bukan angka yang masuk akal untuk menghidupi keluarga dengan satu anak sekalipun. ‘Nggak usah ngasih KTP, cuma dicatet nama,” masih semangat ia meneruskan. “Nanti kira-kira tiga harian lah sebelum hari H, uangnya udh dikasih. Kalau belum dikasih uangnya, ngga mau nyontreng aku.” “Lha iya, daripada kita ngga dapet apa-apa. Urusan nanti dibilik suara kita mau nyontreng siapa, ya terserah kita aja. Aku rasa kalo gitu ngga dosa kita.” Nada suara Mas Pur kali ini seperti menuntut pembenaran, mungkin untuk menghalalkan uang yang akan diterimanya nanti. Aku tak mengangguk, meski kurasa kata-katanya tak salah. Percakapan telefon ku dengan Lily tadi malam jelas tak memuaskan batinnya, kalau tak bisa dibilang mengecewakan. Mungkin ia merasa sedang berbicara dengan laki-laki pengecut, laki-laki yang ia inginkan jadi pendamping hidupnya. Dan laki-laki itu aku. Takut pada sesuatu yang tak tampak, yang akan datang, mungkin takkan pernah datang. Masa depan. Ya, bagiku ketakutan sering datang dari masa depan. ‘Zaman sekarang nyari yang haram aja susah Mas.” Terdengar sekilas Pardede menanggapi omongan Mas Pur -yang tak kudengar sebelumnya- sambil sedikit memajukan bibir bawahnya. Kaleidoskop di pikiranku berganti Lily lagi. Tak ada yang aku ragukan padanya, hanya pada diriku sendiri. Berapa gaji? Nanti kontrak rumah, biaya melahirkan, susu bayi, kalau sakit, nanti anak sekolah… Tak terbayangkan ia hidup dalam kemelaratan, lebih-lebih lagi: kebodohan. Terbayang jurkam-jurkam dengan penuh semangat berkoar membentang harapan, hidup lebih yg baik,gembar -gembor yang itu-itu juga. Dan sebagian rakyat yang hidup dirundung kesulitan seperti terhibur, tersihir - mungkin seperti sensasi nonton sinetron. Terlupa akan pahitnya kenyataan. Tak perduli sudah berapa Pemilu mereka tertipu. Tak peduli kapasitas calon pemimpinnya, rekam jejaknya, visi juga misi. Mengapa begitu mudah kita dibujuk. Mengapa begitu cara mereka membujuk. Dengan stiker, kalender, sesuatu yang minim guna, bagi-bagi sembako, kepura-puraan yang terang, sandiwara sosial. Sedikitpun aku tak mau menggantungkan harapanku pada orang-orang yang tak jelas begitu. Tidak. Aku akan membangun harapan ku sendiri, membangun masa depanku sendiri. Tentu takkan mudah. Butuh jatuh bangun, banting tulang, nangis darah. Semua butuh keberanian, dan aku harus memulai. Bell tanda usai break pagi berbunyi. Masih kudengar Pardede mengerutu sambil bangkit dari duduknya. ‘Politik itu kotor'. Nada bicaranya dalam. Aku tatap wajahnya, tak jelas mengekspresikan apa. * Aku pulang saat terang sisa sedikit. Lelah tlah bertumpuk lagi. Seakan tak bisa di elak, kulirik juga warna-warni temaram di tepi jalan. Handphone di saku kiriku terasa bergetar, suaranya tak terdengar. Mungkin Lily pikirku. Tunggu Lily, tak bagus bertelefon genggam sambil berkendara begini. Jika perkara tadi malam itu juga yang kau tanya, ya, baiklah Lily, aku pinang kau! Aku pinang kau! Takkan lama lagi, janji takkan lama. Mungkin sebelum umbul-umbul ini, baliho-baliho ini, senyum-senyum ini, enyah dari tepi jalan. ...every power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely… *** | |